banner 1200x300
Opini  

Fiskal Tanpa Makro di Tengah Pandemi Covid-19

Sumber foto : katadata
banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Fachru Nofrian Bakarudin

Butota.id (Opini) – Pandemi virus corona (Covid-19) telah berlangsung sekitar 4 bulan sejak pertama kali ditemukan di China 11 Januari 2020 diikuti oleh Prancis 24 Januari 2020, Jerman 28 Januari 2020, Italia dan India 30 Januari dan seterusnya.

Di Indonesia, kasus pertama ditemukan pada 2 Maret 2020 atau 3 bulan setelah kasus pertama. China adalah ground zero di mana kasus berkembang signifikan tetapi berhasil diredam hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan, ketika saat itu grafik masih memperlihatkan peningkatan kasus hingga paling tidak pertengahan April ini di banyak negara maju lainnya. Ini memperlihatkan metode yang diadopsi oleh pemerintah China cukup efektif.

Di Indonesia, meskipun jumlahnya masih relatif kecil tetapi bersifat eksponensial sehingga tidak bisa tidak diperlukan perhatian yang sangat serius agar tidak lebih jauh memakan korban.

Namun demikian, selain jumlahnya yang masif, tantangan lainnya adalah waktu yang cukup panjang sehingga memerlukan strategi ekonomi yang cepat agar tidak memakan biaya yang semakin besar.

Ekonomi Indonesia pada dasarnya sebagian besar informal meskipun sebagian besar ekonom menyebut fondasi ekonomi Indonesia kuat. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa hingga 70% sektor informal. Akhirnya ketika pandemi masif dan berkala ini datang, dapat dipastikan mengganggu kegiatan ekonomi yang sebagian besar informal itu dan mestinya meruntuhkan pandangan bahwa fondasi ekonomi kuat.

Secara angka dapat digambarkan sebagai berikut. Jika PDB tahun 2019 sebesar Rp 15.800 triliun dan diandaikan bertumbuh 5% tahun 2020 maka PDB diperkirakan Rp16.590 triliun per tahun dan Rp 319 triliun per minggu.

Oleh karena itu, jika pandemi ini berlangsung selama 4 minggu yang mana tidak mungkin, maka terjadi kehilangan PDB sebesar Rp 892 triliun, 8 minggu sebesar Rp 1.784 triliun dan 6 bulan Rp 5.352 triliun.

Oleh karena itu, ini pasti akan mengakibatkan pelambatan dan jika pada tahun 1998 tingkat pertumbuhan melambat hingga 13%, bukan tidak mungkin pandemi ini mengakibatkan pelambatan hingga 28%.  

Efek kepanikan pun melanda. Tidak ada lagi perdebatan hoax di berbagai media atau sangat kecil. Pelaku politik pun lebih banyak diam dan mulai percaya pada data.

banner 325x300
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani


Seperti biasa, pasar keuangan memperlihatkan kepanikan tersebut. Misalnya memperlihatkan penurunan begitu juga sebagaimana data memperlihatkan penurunan arus modal masuk/keluar dan pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang menurun dan nilai tukar yang merosot walaupun menguat tetapi sampai berapa lama Bank Indonesia mampu menahan laju penurunan tersebut.

Namun efek yang paling parah ada pada bidang perindustrian karena banyak pabrik dan usaha tutup serta penurunan omzet yang berdampak kepada pengurangan tenaga kerja. Selain pengurangan tenaga kerja, banyak juga tenaga kerja yang tidak mau lagi bekerja karena takut sehingga tidak dapat dihindari kenaikan pengangguran. Padahal industri atau bisnis dan tenaga kerja adalah sumber utama permintaan. 

Akibatnya, tidak bisa dihindari lagi efek berikutnya adalah ke sektor pemerintahan sebagai satu-satunya sebagai lender of last demandOutlook memperlihatkan dampak pertama kepada politik ekonomi yaitu banyak perencanaan pembangunan menjadi tertunda dan terjadi pergeseran fokus orientasi pembangunan menjadi penyelamatan.

Dampak Fiskal
Selanjutnya dampak dirasakan pada bidang fiskal karena penurunan pendapatan negara penurunan akibat penurunan penerimaan perpajakan disertai kenaikan belanja dan bukan tidak mungkin peningkatan pembiayaan.

Dalam bidang moneter, pertumbuhan kredit melambat dan mengganggu kinerja perbankan dan non-perbankan selain adanya peningkatan NPL (kredit bermasalah).

Namun apa yang pemerintah mesti lakukan untuk menyelamatkan demand itu?

Para ekonom yang selama ini percaya pada matematika keuangan atau financial engineering bingung karena semua sumber pertumbuhan terkena dampaknya mulai dari makro hingga mikro. hitung-hitungan analitik tidak mungkin bisa diselamatkan, apalagi digunakan untuk menyelamatkan hitung-hitungan riil.

Akhirnya situasi membawa kepada peran pemerintah untuk menyelamatkan demand. Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan kebijakan fiskal yang efektif.

Pemerintah akhirnya membentuk Gugus Covid-19, menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan merilis Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang), yakni Perppu Nomor 1/2020.

Terlepas dari kontroversi aturan tersebut namun perlu diapresiasi. Dramanya adalah semua ini dikeluarkan setelah sekian lama sehingga terkesan terlambat.

Salah satu pertimbangan yang membuat lama adalah soal kecukupan anggaran. Semua tahu bahwa akhirnya juga keluar stimulus yaitu kebijakan stimulus 1 yang bertujuan meningkatkan insentif pariwisata, stimulus 2 insentif perpajakan sektor manufaktur sebesar Rp 22,9 triliun dan stimulus 3 terdiri social safety net sebesar Rp 110 triliun, insentif tenaga dan pelayanan kesehatan Rp 75 triliun dan dukungan industri Rp 70,1 triliun.  

Sementara itu moneter masih wait and see dengan kebijakan minimalis yaitu stabilitas nilai tukar dan menjaga tingkat suku bunga yang sudah relatif rendah.

Selain itu adalah pembelian SBN (surat berharga negara) serta pelonggaran terkait kartu kredit dan restrukturisasi kredit. Peran tambahan juga diberikan kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).

Untuk bidang industri, pemerintah memastikan sejalan dengan PSBB dan Kementerian Perindustrian memastikan industri yang terdampak berat, moderat dan yang diuntungkan oleh pandemi dan kebijakan ini.

Untuk ketenagakerjaan, pemerintah mengeluarkan kebijakan work from home terutama untuk sektor pendidikan dan kartu pra-kerja.

Apakah semua terutama kebijakan fiskal ini bisa menyelamatkan permintaan tanpa mengorbankan ekonomi jangka panjang sehingga ekonomi tetap sustain?

Mungkin itu adalah pertanyaannya karena selama ini ada keyakinan bahwa fondasi ekonomi cukup kuat apalagi sudah ada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sehingga kejutan baik yang endogen atau pun yang eksogen akan dapat teratasi.

Kenyataannya seperti tidak ada pilihan lain selain anggaran defisit (budget deficit). Namun sayangnya, selama ini juga diyakini bahwa defisit di bawah 3% adalah faktor utama keselamatan ekonomi.

Pelajaran dari krisis di Eropa akibat Italia dan Yunani yang dianggap ugal-ugalan dengan anggaran publik harus menjadi pelajaran bahwa budget deficit di bawah 3% adalah keharusan jika ekonomi ingin selamat. Itulah ketakutan para ekonom dan pengambil kebijakan ketika harus membuka keran anggaran tersebut. Padahal kita tahu bahwa apa yang terjadi di Eropa adalah suatu kesalahan yang dibawa sampai sekarang dengan banyak persoalan yang belum terjawab.

Kita juga tahu bahwa krisis yang sesungguhnya bukan karena Italia ugal-ugalan dengan anggaran tetapi karena adanya booming sektor finansial seperti kredit yang kemudian meledak di Amerika Serikat. Dengan kata lain sekarang ini, instrumen fiskal dan moneter sudah banyak dibatasi oleh parameter endogen, sedangkan krisis yang sekarang dihadapi bersifat eksogen di luar sirkuit ekonomi. Adalah salah besar menganggap ekonomi akan normal dengan sendirinya.

Kebijakan stimulus tentu perlu diapresiasi namun memiliki banyak keterbatasan dalam rangka mengatasi kejutan eksogen ini. Pertama, stimulus berorientasi kepada keseimbangan akuntansi. Misalnya bantuan stimulus untuk industri adalah PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah hanya bersifat pengeluaran perpajakan semata atau tax expenditure sebagai pengganti tax revenue.

Mungkin ini akan berguna untuk membantu industri tetapi yang dibutuhkan saat ini adalah penyelamatan demand dari sisi makro, bukan akunting. Hal ini akan berdampak kepada tidak tercapainya crowding in atau pun crowding out yang diharapkan dari penyempitan atau pelebaran anggaran.

Kedua, stimulus juga berorientasi UMKM tetapi melalui penyaluran KUR. Kita semua tentu tahu bahwa dalam kenyataannya, KUR memerlukan agunan dan suku bunga. Ini adalah bentuk kredit sehingga bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini masih menginginkan tercapainya pendalaman finansial.

Ketiga, stimulus untuk industri masih berorientasi kepada peningkatan ekspor dan impor melalui PPh Pasal 22 sehingga orientasi kepada industrialisasi menjadi kurang terjaga. Apalagi negara lain justru menutup ekspor. Hal lainnya lagi adalah program sosial seperti social safety net.

Kita semua tahu bahwa negara adalah penjamin sosial tetapi batas anggaran defisit ini tentu akan bertentangan dengan social safety net. Berbagai bantuan tersebut pun memerlukan penerapan yang optimal karena pada praktiknya masih banyak pihak yang bandel baik untuk bantuan sosial, industri ataupun relaksasi kredit. Untuk itu, isu sosial atau solidaritas dan industrialisasi mesti ditempatkan di atas isu anggaran defisit.

Akankah itu mengganggu ekonomi sehingga penyelamatan permintaan tanpa mengorbankan ekonomi jangka panjang tidak tercapai ?

Persoalannya bukan hanya pelebaran atau pemotongan anggaran publik karena kalau kita lihat kembali anggaran publik yang rendah diharapkan untuk mengurangi tingkat suku bunga tetapi pada kenyataannya di Indonesia tingkat suku bunga juga masih tinggi.

Ini memperlihatkan bahwa jika Indonesia tidak mengalami pandemi, maka pasti juga akan terdampak krisis yang dialami negara maju, begitu juga ditarik ke belakang maka sebetulnya Indonesia juga sudah mengalami penurunan produktivitas kapital dan tenaga kerja. Kondisi ini juga sebetulnya sudah krisis sehingga kebijakan fiskal selama ini sudah tidak terlalu relevan.

Apa yang perlu dilakukan sekarang adalah mengembalikan relevansi ekonomi makro kepada fiskal. Adalah cukup paradoks karena ketika ranah sosial memerlukan penanganan tetapi apa yang dibicarakan di dalam rapat-rapat termasuk rapat antara Komisi XI dan Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS adalah persoalan finansial dan penyelamatannya serta terpisah dari industri. Tentu ini bertentangan dengan logika akal sehat dan menghambat penanganan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Oleh karena itu, persoalannya bukan hanya apakah rasio utang lebih kecil atau besar dari PDB. Sebagaimana diketahui, total utang sektor publik Indonesia sebesar Rp 10.126 triliun yang berarti jika PDB 2019 menjadi sebesar 64% dari PDB, tetapi seberapa relevan terhadap penciptaan demand dan supply.

Sekali lagi, dalam jangka pendek yang paling penting adalah pengembalian kesehatan secara holistik sehingga bisa menjadi ketahanan negara.

Mengorbankan jangka pendek demi adanya industri untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang mungkin lebih relevan dibandingkan sekadar penciptaan komoditas analitik jangka pendek karena kenyataannya masker dan paru-paru tidak dapat digantikan oleh uang elektronik. (***)

Artikel ini telah terbit di CNBC Indonesia, Pada 26 April 2020. dengan alamat : https://www.cnbcindonesia.com/opini/20200426112100-14-154491/fiskal-tanpa-makro-di-tengah-pandemi-covid-19

banner 325x300
error: Content is protected !!