Oleh : Adv. Susanto Kadir / Founding LBH Limboto & MSK & Co.
Butota.id (Opini) – Kita tahu bersama usulan Gubernur Gorontalo kepada Menteri Kesehatan RI tentang Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Provinsi Gorontalo telah mendapatkan persetujuan oleh Menteri kesehatan RI.
Direncanakan penerapan PSBB akan efektif Per Tanggal 3 Mei 2020, Secara hukum penerapan ini masih memerlukan regulasi turunan yang mengatur teknis pelaksanaannya baik itu melalui Perda ataupun Pergub, saya lebih melihat lebih tepatnya di pakai Pergub.
Penerapan PSBB itu sendiri juga akan mengandung konsekuensi hukum, yang mengatur dan mengikat bagi seluruh warga negara indonesia yang sedang berada di daerah teritorial hukum Provinsi Gorontalo.

Pergub tentang PSBB di Provinsi Gorontalo secara teknis akan mengatur dan mengikat bagaimana upaya penghentian penyebaran Virus Corona atau Covid-19 ini, siapa saja yang pihak berwenang, bagaimana bentuk pelanggaran atau tindak pidananya. Prosedur penanganan pelanggaran atau tindak pidananya, bagaimana mekanisme penuntutannya, bagaimana penyelesaiannya, dan banyak lagi.
Dari perspektif ilmu perundang-undangan perbedaan paling mendasar antara Perda Provinsi dengan Pergub adalah terletak pada kewenangan pembentukan. Perda Provinsi dibentuk dengan cara membuat Rancangan Peraturan Daerah terlebih dahulu, kemudian Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo.
Pertanyaannya apakah Pergub PSBB nantinya berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU atau tidak ? nanti kita lihat bersama saja.
Sejak diberlakukannya PSBB di beberapa daerah lain, silahkan lihat Pelajari dan Pelajari Penerapan PSBB di Provinsi Riau Khususnya di Kota Pekanbaru, terdapat penegakan hukum atas pelanggaran atau tindak pidana PSBB.
Oleh JPU mereka disangkakan melanggar KUHP Pasal 216 dan Perwako Pekanbaru No 74 tahun 2020 tentang pelaksanaan PSBB. Karena sidang berkaitan dengan pelanggaran selama masa PSBB. Jadi mengacu pada Perwako tentang PSBB harus dikombain karena tidak memiliki ancaman hukuman. Maka dari itu, diambil dari KUHP Pasal 216.
Berkaca dari Perkara PSBB di PN Pekanbaru tersebut, maka saya tertarik untuk kemudian memahami secara lebih dalam konfrehensif tentang interpretasi dan makna dari Pasal 216 ayat (1) dan Pasal 219 KUHP, sebagaimana bunyi berikut:
Pasal 216 ayat (1):
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”
Pasal 218:
“Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”
Olehnya, Saya memiliki pendapat tentang penerapan PSBB apabila Pergub Pelaksanaanya tidak dibuat berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU, multitafsir, samar-samar atau membingungkan pelaksanaannya, maka bukan tidak mungkin Pasal 216 ayat (1) dan Pasal 218 KUHP akan dipakai oleh Penyidik / Penuntut Umum untuk Men tersangkakan Orang-orang yang dianggap atau dinilai Tidak Patuh & Taat terhadap Penerapan PSBB di Provinsi Gorontalo. (***)