Oleh : Umar Karim / Aktifis
Butota.id (Opini) – Penetapan Pergub No. 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan PSBB dan Penangan Covid-19 Di Wilayah Provinsi Gorontalo, serta penetapanpemberlakuan PSBB oleh Gubernur adalah langkah tepat sebagai cara efektif dalam penanganan pandemic Covid-19. PSBB sebagai sebuah prosedur adalah cara paling tepat dalam menangani Covid-19 di Gorontalo mengingat penyebaran patogen itu di daerah ini tidak lagi karena imported case akan tetapi sudah pada level local transmission.
Efektifitas pemberlakuan PSBB tersebut tentu harus didukung oleh piranti hukum, salah satunya adalah adanya Peraturan yang jelas hingga dapat menciptakan kewibawaan hukum dan kepastian hukum dalam penerapannya. Akan tetapi jika memperhatikan materi muatan Pergub tentang PSBB yang diundangkan pada 14 Mei 2020 secara subtansi masih terdapat beberapa ketentuan yang kontradiksi dengan peraturan di atasnya, multi tafsir serta dapat menciptakan kebingungan dalam penerapannya, seperti ketentuan pembatasan layanan kesehatan yang diatur dalam Pasal 15 dalam Pergub. Sebenarnya dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 dan UU No. 6 Tahun 2018 sebagai rujukan pembentukan Perbup tersebut nyata dan jelas telah mengatur bahwa dari semua kegiatan yang dibatasi dalam penaganganan covid-19, hanyalah layanan kesehatan yang tidak dibatasi. Agak tidak logis memaang, jika tujuan pembentukan Pergub tentang PSBB ini dalam rangka menangani permasalahan kesehatan akan tetapi justru materinya membatasi layanan kesehatan. Seharusnya layanan kesehatanlah yang harus ditingkatkan bukan sebaliknya malah dibatasi. Mekipun pada ayat (4) dalam Pasal 15 tersebut terdapat ketentuan pengecualian jika dalam kondisi mendesak yang membutuhkan penanganan yang sifatnya emergency di waktu selain pukul 06.00 s/d 17.00.
Ini juga masih dapat menciptakan kerancuan. Misalnya tentang Apotik, jika dihubungkan dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 47 Tahun 2016 tentang Fasiltas Kesehatan, Apotik itu termasuk faslitas yang melaksanakan layanan kesehatan sehingga apotik termasuk yang dibatasi dalam Pergub tersebut. Nah.. bagaimana tata cara apotik melakukan layanan kesehatan ketika emergency?. Kan orang sakit tidak harus ke apotik membeli obat, jika yang membeli obat bukan orang sakit, bagaimana pihak apotik akan mengatahui bahwa obat itu dibutuhkan untuk emergency?. Bagaimana pula apotik akan mulai membuka layanannya jika sebelumnya apotik tidak melayani yang emergency, jadinya apotik tutup terus sehingga sekalipun yang datang dalam keadaan emergency apotik yang didatanginya sementara tutup karena sebelumnya tidak ada emergency sebagai alasan untuk membuka layanan.
Demikian pula dengan ketentuan larangan kepada penduduk untuk melakukan kegiatan di tempat atau fasilitas umum yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1).Sebenarnya Permenkes No. 9 Tahun 2020 tidak terdapat satu ketentuan pun yang mengatur larangan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pada prinsipnya Permenkes hanya mengatur pembatasan dan tak ada satu pun terdapat larangan kecuali hanya untuk larangan kerumununan. Pergub sebagai Peraturan pelaksanaan dari Permenkes No. 9 Tahun 2020, maka tentu materi Pergub harus relevan dan simetris dengan Permenkes tersebut. Khusus untuk Jakarta misalnya, dalam Pergub tidak terdapat ketentuan larangan melakukan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, yang ada makna larangan berkerumun itu dijelaskan secara detail, yakni larangan melakukan kegiatan dengan jumlah lebih dari 5 (lima) orang sehingga menjadikan kata berkerumun pengertiannya menjadi jelas dan rigid.
Begitu pula terkait pengaturan pembatasan pergerakan orang masuk wilayah prov Gorontalo yang diberlakukan bagi semua orang dan semua moda transportasi sesuai Pasal 5 ayat (5) kiranya dipertimbangkan mencantumkan ketentuan tersebut. Karena frasa yang digunakan dalam ketentuan tersebut adalah “semua orang” dan “semua moda transportasi”, berarti yang dibatasi masuk ke Gorontalo adalah semua orang dan semua moda transportasi tanpa terkecuali, ini sudah mirip Karantina Wilayah. Kalau hanya menyebut orang atau moda transportasi tertentu dapat dimaknai tidak semua orang dan tidak semua moda transportasi dapat masuk ke wilayah Gorontalo.
Adanya potensi pertentangan beberapa materi Pergub seperti itu dengan Peraturan di atasnya dapat mengurangi kewibawaan penegakan Pergub yang pada gilirannya tentu dapat membuat aparat hukum kebingungan dalam penerapannya.
Selain itu disarankan pula adanya perbaikan penulisan, seperti maksud dari huruf d dalam Pasal 15 ayat (3) yang masih kurang jelas, demikian pula penulisan huruf K/L/D dalam Pasal 21 ayat (1) huruf f. Tapi saya pikir soal penulisan itu bukanmasalah subtansi. Di situasi seperti sekarang pembentukan perundang-undangan yang dikebut waktunya hal seperti itu dapat dimaklumi.
Sebagai warga masyarakat apapun pendapat saya terhadap Pergub tersebut, saya tetap manaatinya karena Pergub tersebut mengikat setelah diundangkan. Dapat pula dimaklumi disituasi serba darurat dan terburu-buru seperti sekarang hasil seperti itu dapat dimaklumi akan tetapi demi terwujudnya kejelasan dan kepastian hukum, saya sarankan sebaikanya materi Pergub tersebut direvisi apalagi kemungkinan penerapannya tidak hanya selama 14 (empat belas) hari akan tetapi bisa mengalami penambahan yang melampaui waktu tersebut. Koreksi ini saya harap jangan sampai mengurangi semangat kita dalam menangani pandemi covid-19. Moga kita bisa melawan Covid-19. (***)