Oleh : Suwiryo Ismail / aktivis, praktisi komunikasi, public educators
Butota.id (Opini) – Soal meluasnya penularan covid-19 di gorontalo, menurut saya tidak lepas dari unsur kelalaian pemerintah baik itu gubernur maupun bupati/walikota. Kelakuan gubernur yang suka mengumpulkan banyak orang untuk bagi-bagi sembako di saat era Covid-19 misalnya. Sudah banyak yang protes, saya sendiri sudah beberapa kali memprotes secara keras dan terbuka. Terutama sejak gubernur tidak mengambil kebijakan apapun terhadap jamaah tabligh (JT) yang pulang “membawa virus” dari Pertemuan Ijtima Jamah Tabligh di Gowa, Maret 2020.
Ada pemulangan paksa JT oleh pihak Polda Selsel/Polres Gowa pada 19 Maret 2020. Namun Gùbernur dan sejumlah pejabat daerah membiarkan sekitar 300 anggota JT asal Gorontalo berinteraksi dengan banyak orang. Kita semua tentu tidak perlu memusuhi JT, karena mereka juga adalah korban Covid-19. Yang diperlukan adalah, mereka saat itu mestinya segera dikarantina agar bisa memutus rantai penularan kepada yang lain. Tapi gubernur dan jajarannya baru bertindak setelah pada 9 April 2020 hasil swab test menunjukkan ada satu JT yang positif terinfeksi.
Kini terbukti dari hari ke hari jumlah pasien positif terinfeksi meningkat. Meski berkat kerja keras tim dokter, 16 orang dinyatakan sembuh dan hanya ada 2 yang meninggal. Hari ini sudah 28 orang pasien terinfeksi, sebagian besar diantaranya adalah dari klaster eks JT Gowa. Bayangkan, jika dilakukan karantina segera pada 19 Maret, mungkin tidak sebanyak 28 positif terinfeksi seperti saat ini. Kita bahkan tidak tahu ada berapa banyak lagi di luar sana yang terinfeksi tapi tak terdeteksi, bukan?
Kemarin Bupati Gorut juga punya andil “meloloskan” jamaah tabligh yang datang dari zona merah (bagusnya beliau langsung meminta maaf. Beda dengan gubernur yang masih bungkam alias tekeng pongo). Ini memang perlu ditelusuri lebih jauh, apa dan bagaimana fakta selengkapnya. Seperti halnya penelusuran terhadap tindakan bupati dari salah satu kabupaten yang memberikan fasilitas mobil dinas untuk dipakai oleh JT berangkat ke pertemuan Gowa. Padahal saat itu wabah/pandemi covid sudah membahana bahkan sudah ada anjuran presiden untuk tidak menyelenggarakan atau tidak menghadiri pertemuan keagamaan apapun.
Setelah peristiwa kelalaian itu, gubernur Rusli Habibie dan para politisipun masih sering menggunakan alasan kepedulian terhadap warga korban covid-19 untuk bikin aksi “bagi-bagi sembako” sambil mencitrakan diri. Gubenur malah menggunakan momentum deklarasi PSBB untuk mengumpul orang. Ini tentu cara yang beresiko bagi banyak orang dan tentu anti protokol Covid-19.
Saya sendiri sedang mengkaji kemungkinan adanya unsur pelanggaran hak azasi manusia (HAM) dalam kasus Gorontalo, di mana negara yang diwakili gubernur atau bupati/walikota patut diduga melakukan act by omission (membiarkan atau lalai) yang mengakibatkan terancamnya nyawa dan kehidupan orang lain atau hak orang untuk hidup oleh penyebaran pandemi Covid-19 (ini tentu berbeda dengan act by comission, dimana negara terlibat atau tidak melasanakan kewajiban dan tanggungjawabnya terkait dengan pelanggaran HAM berat).
Jika kelalaian mengkarantina JT yang membawa virus maupun berbagai upaya mengumpulkan banyak orang dengan dalih membagi-bagi sembako ternyata telah memunculkan resiko berupa orang terpapar corona viris atau orang meninggal karena Covid-19 —bahkan sebaliknya jika ada satu saja orang yang menderita kelaparan atau tidak bisa menyambung hidupnya karena kehilangan sumber pendapatan karena Covid-19, dan tak diurus negara— maka itu bisa dikategorisasi sebagai act by omission atau kelalaian/tindakan pembiaran oleh negara yang berakibat adanya pelanggaran hak azasi manusia.
Negara sebagai pemangku tanggung jawab (duty holder)— dalam hal ini diwakili oleh gubernur dan walikota/bupati— sudah tentu seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiba dan tanggungjawabnya (obligation and responsibility) dalam pelaksanaan ketentuan HAM secara internasional maupun nasional (UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM maupun UU lainnya terkait perlindungan kesehatan dan sosial).
Tanggungjawab dan kewajiban terpenting dalam situasi pandemi ini tentu saja adalah memberikan jaminan perlindungan terhadap keselamatan atau kehidupam individu dan kelompok-kelompok masyarakat selaku pihak pemegang hak (right holder) dari ancaman penularan virus dan maupun dampak sosial-ekonomi yang bisa menurunkan derajat kemanisiaan setiap orang.
Jadi, jika hal-hal semacam ini secara faktual terjadi di Gorontalo, maka Gubernur Rusli Habibie maupun walikota/bupati di Provinsi Gorontalo patut atau layak dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM. Contoh nyata lainnya adalah, jika terjadi penularan Covid-19 dari kerumunan di mal Gorontalo yang tidak ditutup oleh Walikota sesuai aturan PSBB, maka kelalaian atau pembiaran (by omission) Walikota Marthen Taha juga dapat dimintai pertanggungjawaban pelanggaran HAM. (***)