Oleh : Jeffry As. Rumampuk - Pemimpin Redaksi butota.id
Butota.id (Tajuk) – Desas – desus politik Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Gorontalo, khususnya menjelang pendaftaran pun banyak membahas tentang kejutan – kejutan bakal calon yang akan bertarung. Pasalnya, dari sekian banyak figur yang ada, pasangan incumbent adalah yang paling siap untuk mendaftarkan diri pada tahapan itu. Selain itu, kepastian dari bakal pasangan calon yang dianggap potensial untuk memenangkan pesta rakyat itu, saat ini juga masih banyak dipertanyakan.
Dengan mengenyampingkan apa yang telah dilaksanakan/ dilakukan oleh incumbent selama menjabat, Sebagian orang menilai bahwa Pilkada adalah ajang untuk menguji kekuatan, finansial, popularitas, gengsi, nama besar, pertaruhan marwah politik dan juga bargaining. Sehingga, incumben yang biasa juga disebut petahana adalah sasaran dari rasa kepercayaan diri, tebaran pesona, klaim kekuatan basis masa yang rill hingga keyakinan untuk dapat mengalahkan political power ala calon lainnya.
Phobia atas hegemoni dan kedigdayaan petahana, selalu terasa pada setiap pelaksanaan Pilkada. Bahkan, hal itu seringkali dimaknai sebagai motivasi bagi calon lainnya untuk mencari, mengolah dan membuat berbagai strategi menumbangkan petahana yang konon telah memiliki modal sebesar 30% kemenangan.
Menyinggung political power sang petahana, tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini, dapat dilihat dari praktek unfair managemen birokrasi dengan menempatkan orangnya pada “posisi strategis” untuk dapat memenangkannya. Disamping itu, finansial serta pengendalian kekuasaan pemerintahan pada tahun berjalan bisa dibilang adalah ciri khas sang petahana. Bahkan hal itu dapat dilihat sebagai jalur istimewa, dengan besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Hal diatas tersebut, tentu sangat mungkin memuluskan kepentingan dan hasrat politik untuk berkuasa kembali. Padahal, jika itu terjadi maka dapat dimaknai sebagai korupsi kekuasaan sebab tidak jarang orang yang gila akan kekuasaan pasti menghalalkan segala cara dan cenderung demoralisasi dengan mempertontonkan cara yang masih jauh dari kata beradab secara politik. Sebagai contoh adalah mahar politik, yang sudah menjadi rahasia umum bahwa mahar itu kesepakatan dan kesepakatan tidaklah murah. Disisi lain, penyelenggara dan hukum yang semula menjadi kontrol atas perhelatan Lima Tahunan itu, diperdaya bahkan ditaktisi secara dramatis terlebih dahulu.
Selain (Soal) penyalahgunaan kekuasaan, momentum Pilkada Kabgor 2020 pasti diwarnai dengan perang wacana atas silang pendapat para pendukung yang fanatik kepada calonnya. Baik dukungan kepada petahana maupun kepada para calon lain sebagai penantang, yang kadang sangat “Tidak Sehat” dengan didasari fanatisme dan sesat fikir. Pada kubu Petahana dan penantangnya, diperkirakan terbentuk polarisasi kuat atas terciptanya opini publik sehingga memunculkan sentimen kelompok dan saling klaim kebenaran berujung pada gesekan yang kemudian mewujudkan peperangan dengan judul “Semua (pasti) Lawan Semua”.
Diera politik “pasca kebenaran” seperti saat ini, hubungan emosional sangatlah tinggi jika dibandingkan dengan fakta dan data objektif. Dimana kebenaran akan disingkirkan serta lebih mengedepankan hubungan emosionalitas yang kemudian dapat melemahkan setiap kandidat yang ada. Namun, diposisi ini Petahana sangat diuntungkan. Petahana mendapat point lebih karena memegang kendali atas kekuasaan, data, media, perangkat hukum dan instrumen keamanan. Tak jarang, petahana menggunakannya untuk membangun persepsi ditingkat masyarakat bahwa penantang atau calon lainnya adalah oposisi dan penghambat lajunya proses pembangunan didaerah.
Dalam instrumen lain, dikatakan bahwa penantang atau calon lainnya adalah perawat nalar publik dari hegemoni kekuasaan yang anti kritik. Sebab sejatinya, penantang atau calon lainnya pada pilkada kali ini tidak dapat dimaknai sebagai kelompok barisan sakit hati. Namun lebih kepada bagaiamana mengisi kekosongan dari pada kebenaran atas hegemoni kekuasan yang selama ini digaungkan oleh incumbent atau petahana.
Terakhir, terlepas dari makna tulisan diatas, sesungguhnya peran Pemerintah sangatlah penting untuk dapat mengakomodir seluruh persoalan yang bernuansa kemasyarakatan. Karena kekuasaan merupakan rahmat dan mandat yang religius, kepada pihak yang mengembannya tentu orang pilihan yang dituntut tanggung jawab dan amanah atas ridho Allah SWT. Bukankah sangat jelas dalam firmanNya :
” Innallāha ya`murukum an tu`addul-amānāti ilā ahlihā wa iżā ḥakamtum bainan-nāsi an taḥkumụ bil-‘adl, innallāha ni’immā ya’iẓukum bih, innallāha kāna samī’am baṣīrā” (QS. An-Nisa Ayat 58)
Yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Yang dalam tafsiran Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta’dzhim al-Qur’an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya Kalimat ini mencakup seluruh manusia dalam menunaikan segala amanat, dan yang paling pertama adalah bagi para pemimpin dan penguasa yang wajib bagi mereka menunaikan amanat dan mencegah kezaliman, dan senantiasa berusaha menegakkan keadilan yang telah Allah limpahkan atas amanat yang telah mereka pikul dalam kebijakan-kebijakan mereka. Dan masuk dalam perintah ini juga selain mereka, sehingga mereka wajib menunaikan amanat yang mereka punya dan senantiasa berhati-hati dalam menyampaikan kesaksian dan kabar berita. (Dan menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Keadilan disini adalah dengan tidak condongnya qadhi atau penguasa kepada salah satu pihak yang bersengketa, dan agar tidak mengutamakan seseorang atas orang lain dikarenakan hubungan kekerabatan, jabatan, kemaslahatan pribadi, atau hawa nafsu. Akan tetapi seorang qadhi memberi putusan bagi yang berhak sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan seorang penguasa harus memperlakukan rakyatnya dengan sama rata tanpa mengutamakan seseorang kecuali dengan kadar keutamaan yang memang dimiliki orang tersebut, berupa keuletannya dalam beramal, atau berdasarkan pengalaman, pengetahuan, atau kekuatannya dalam berjihad, dan lain sebagainya.
Sesungguhnya Allah mendengar apa yang qadhi putuskan. Melihatnya ketika ia mengeluarkan putusannya, sehingga Allah mengetahui apakah ia berusaha untuk berlaku adil atau memberi putusan dengan hawa nafsu. (***)