Butota.Id (Internasional) Myanmar – Aksi unjuk rasa yang digelar puluhan ribu rakyat Myanmar, dikota Yangon pada Minggu (7/2), dilakukan dalam rangka memprotes kudeta junta militer dan penahanan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. Aksi tersebut bukan saja dilakukan di kota Yangon, namun terjadi juga di seluruh negeri itu. Dengan membawa balon merah yang identik mewakili Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi, diiringi dengan teriakan, “Kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi!”.
Seperti diketahui, Militer Myanmar merebut kekuasaan pada Senin dini hari lalu dan membuat transisi demokrasi negara Asia Tenggara yang bermasalah itu tiba-tiba terhenti dan memicu kemarahan internasional. Kemarahan rakyat semakin meningkat akibat junta memutus akses internet dan membatasi saluran telepon.
Dikutip dari kontan.id, kerumunan besar dari seluruh penjuru Yangon berkumpul di Kotapraja Hledan, Minggu pagi. Rakyat berbaris disepanjang jalan raya, hingga menyebabkan arus lalu lintas lumpuh total. Dengan memberi hormat sembari mengibarkan bendera NLD, Masa menjadikan hal itu simbol protes.
Adegan itu, sempat disiarkan secara langsung di sosial media Facebook namun internet dinegara itu sudah dimatikan oleh Junta pada hariu Sabtu (6/2/2021).
“Mereka sudah mulai mematikan internet. Jika mereka lebih berkuasa, mereka akan lebih menekan pada pendidikan, bisnis, dan kesehatan, kata Thu Thu, 57 tahun yang ditangkap oleh junta sebelumnya selama protes pro-demokrasi di akhir 1980-an.
” Inilah mengapa kami harus melakukan ini.“Kami tidak dapat menerima kudeta,” kata seorang pria berusia 22 tahun yang datang dengan 10 temannya, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Sebelumnya, Jaringan internet dinegara itu telah diblokir oleh Junta Myanmar. Hal itu dilakukan ketika ribuan rakyat turun ke jalan Yangon, dan mengancam aktifitas kudeta serta menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung Suu Kyi.
Dalam demonstrasi pertama sejak para jenderal merebut kekuasaan pada hari Senin, para aktivis meneriakkan, “Diktator militer, gagal, gagal; Demokrasi, menang, menang ”dan menggelar spanduk bertuliskan“ Melawan Kediktatoran Militer ”.
Diketahui, kejadian ini terjadi akibat para jendral menolak hasil pemilihan tanggal 8 November silam dengan mengkliam adanya penipuan. Hal ini mengundang protes warga yang menyerukannya di sosial media, akibatnya internet dinegara itu mengalami lumpuh total.
Kelompok pemantau NetBlocks Internet Observatory melaporkan “pemadaman internet skala nasional”, mengatakan di Twitter bahwa konektivitas telah turun ke 54% dari tingkat biasa. Para saksi melaporkan penutupan layanan data seluler dan wifi.
Junta tidak menanggapi permintaan komentar. Ini telah mencoba untuk membungkam perbedaan pendapat dengan memblokir sementara Facebook dan memperluas tindakan keras media sosial ke Twitter dan Instagram pada hari Sabtu.
Perusahaan telepon seluler Norwegia Telenor Asa mengatakan pihak berwenang telah memerintahkan penyedia internet untuk menolak akses ke Twitter dan Instagram “sampai pemberitahuan lebih lanjut”.
Banyak yang menghindari larangan situs seperti Facebook dengan menggunakan jaringan pribadi virtual untuk menyembunyikan lokasi mereka, tetapi gangguan yang lebih umum pada layanan data seluler akan sangat membatasi akses ke berita dan informasi independen.
“Internet sudah down tapi kami tidak akan berhenti meninggikan suara kami,” tulis seorang pengguna Twitter. “Mari berjuang dengan damai untuk demokrasi dan kebebasan. Mari berjuang sampai menit terakhir untuk masa depan kita. ” Sebut salah satu aksi masa.
Diblokirnya beberapa sosial media serta dilumpuhkannya internet, membuat Rafael Frankel, direktur kebijakan publik Facebook, negara berkembang APAC perihatin. Perintah pemblokiran Facebook dan platform media sosial lainnya dalam beberapa hari terakhir, itu
“Kami sangat prihatin dengan perintah untuk mematikan internet di Myanmar,Kami sangat mendesak pihak berwenang untuk memerintahkan pemblokiran semua layanan media sosial,” kata Rafael Frankel.
Pemblokiran Facebook terjadi ketika tekanan internasional tumbuh pada junta Myanmar untuk menerima hasil pemilu November 2020 yang dimenangkan partai Suu Kyi secara telak. Di Myanmar, penentangan terhadap junta muncul dengan sangat kuat di Facebook, yang merupakan platform internet utama untuk sebagian besar negara serta mendukung komunikasi untuk bisnis dan pemerintah. (*)
Penulis : Jeffry As. Rumampuk
Editor : Nindha