Butota.Id (Opini) – Kegaduhan demokrasi Gorut memasuki babak baru,yaitu pertarungan “Opini dan Pencitraan” tapi bukan pertarungan “Ide dan Gagasan” menjadi ranah adu kebohongan,seharusnya dan sewajarnya adu isi kepala.
Tutun Suaib.,SH.,CPLC Selaku Ketua YLBHIG.Cab-Gorut mendefinisikan tentang politik adalah pertarungan adu narasi,negosiasi dan lobi mendapatkan sesuatu,secara singkat siapa mendapatkan apa,dimana dan bagaiman demi mendapatkan sesuatu bersifat kekuasaan dan kekayaan.
Perlu di garis bawahi,bahwa Gorut melaksanakan kontestasi Pilkada nanti akan dilaksanakan pada tahun 2024,namun yang terjadi sekarang hanya menguras energi. Padahal masih banyak persoalan yang membutuhkan perhatian, diantaranya upaya riil dalam mengentaskan kemiskinan, mengurangi angka pengangguran, mendorong peningkatan mutu pendidikan, serta menggenjot kegiatan UMKM guna meningkatkan ekonomi rakyat pada masa pandemi Covid 19 di Kabupaten Gorontalo Utara.
Upaya-upaya tersebut seakan dibiarkan oleh para elite politik dan para elite birokrat di daerah ini. Padahal mereka tahu bahwa di era diserupsi seperti saat ini, berbagai perubahan begitu sangat cepat dan membutuhkan peran nyata para elite tersebut. Namun yang terjadi adalah mereka hanya memainkan siasat politik oligarkhi yang tentunya sangat merugikan masyarakat Gorontalo Utara. Siasat politik yang dimaksud adalah permainan Opini dan rekayasa pencitraan. Seakan-akan merekalah yang benar dan hanya mereka satu-satunya solusi sementara yang lain tidak ada apa-apanya.
Perlu saya tekankan, penggunaan diksi Permainan opini dan Rekayasa pencitraan bukanlah dalam konteks negatif. Maka permainan demokrasi dimaksud untuk membebaskan aspirasi masyarakat yang tertahan disalah gunakan kaum elit yang haus jabatan. Permainan ini disebut petaka demokrasi yang bisa jadi menyebabkan perpecahan. Seharusnya demokrasi milik rakyat dan untuk rakyat, tetapi apa boleh buat, kondisi kini, rakyat tidak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki dasar ilmu politik untuk mengerti maksud dan tujuan demokrasi, atau rakyat hanya menjadi obyek demokrasi dari para elit yg haus kekuasaan.
Saya menempatkan diksi sebagai bentuk ekspresi antara presepsi Opini dan Pencitraan dalam permainan demokrasi yang dikontruksi sedemikian rupa. Presepsi Opini yaitu cara pandang sekolompok orang berdasarkan opini dan pikiran yang mengendap dibangun melalui pemberitaan, maka presepsi ini akan terbangun melalui media yang ada.
Michael Bauman pada tahun 1960 memberikan istilah telepolitics menggambarkan fenomena ini, mereka yang menguasai media akan mendominasi opini publik sehingga kita melihat para politisi kini berlomba-lomba memperkenalkan diri kepada semua yang terkadang dengan cara-cara tidak elegan.
Perlu dicatat, opini yang terbangun melalui media tidak selalu positif, semakin banyak muncul maka semakin turun elektabilitas disebabkan kurang disukai karakter orangnya.
Beda dengan Pencitraan yakni rekayasa yang dibangun secara sadar bersifat aktif dan konstruktif, artinya citra perlu dibangun melalui karya-karya yang diperoleh dengan cara bekerja dengan giat. Karya tersebut apabila disampaikan ke publik maka rekayasa pencitraan berkaitan dengan simbol, publikasi, diksi, gestur tubuh dan kemampuan membangun diantara kerumunan publik.
Itulah demokrasi tergantung pada geopolitik suatu wilayah, dan setiap wilayah memiliki perbedaan, karena geopolitik mengandung kebijakan berkaitan dengan masalah sistem yang digunakan.
Pola semacam ini tidak perlu dimainkan, namun harus berkaca pada kepemimpinan Bupati Kabupaten Gorontalo 2 Periode Alm. David Bobihoe yang mampu tampil sebagai pemimpin yang memiliki sejuta gagasan, cerdas menyikapi persoalan, berkarakter yang patut dianht sehingga belia memiliki identitas sebagai Bupati Terbaik Se-Indonesia.
Namun seiring waktu 10 tahun memimpin, publik telah menilai, bahwa menjadi seorang pemimpin tidak perlu cerdas, maka berkacalah pada kepemimpinan Alm. David Bobihoe yang bisa merangkul dan mengayomi serta sebagai eksekutor tapi bukan konseptor.
Membangun sebuah presepsi opini publik dan rekayasa pencitraan tidak bisa dijalankan hanya satu tahun, namun perlu ada upaya sistematik dan terukur demi mencapai apa yang diharapkan.
Apa yang saya sampaikan ini, semua bergantung watak dan prilaku setiap orang. Salah satu contoh suatu individu tumbuh dilingkungan mayoritas penduduknya kurang wawasan serta mudah dipicu hoax, maka besar kemungkinan orang tersebut tumbuh sebagai pribadi yang mudah termakan hoax dan mudah menyebar isue hoax. Individu ini, bisa jadi calon pemimpin, bisa juga sebagai pengikutnya.
Inilah transisi demokrasi Gorontalo Utara yang membawa publik ke arena politik populis. Untuk menjelaskan politik populis, para pakar menilai bahwa pemimpin populis memberikan kesempatan meningkatnya rasa nasionalisme ketimbang menumpuk wacanan dan gagasan, maka dampak politik populis ialah krisis kepercayaan rakyat kepada politisi. (***)
Penulis : Tutun Suaib,SH.,CPLC – Ketua Umum Suara Parlemen Jalanan