Butota.id (Daerah) – Pohuwato, Upaya pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Pohuwato membangun bandar udara (Bandara) yang berlokasi di Desa Imbodu, Kecamatan Randangan, saat ini sudah semakin pasti. Tahap demi tahap pun sudah dilewati. Namun, pembangunan tersebut masih saja terdapat beberapa masalah (Keganjalan), yaitu dalam tahap penyelesaian pembebasan lahan.
Hal itu dikarenakan sekitar 33 hektare lahan yang diakui oleh masyarakat, yang sudah bertahun-tahun mereka miliki atas dasar Surat Keterangan Penguasaan Tanah atau SKPT, saat ini diklaim oleh pemerintah merupakan kawasan hutan lindung. Sehingganya, pemerintah pun enggan memberikan ganti rugi terhadap pembebasan puluhan hektare lahan atas 28 orang masyarakat tersebut.
Hal itu terungkap saat rapat terkait batas pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk pembangunan bandara di Pohuwato, beberapa waktu lalu (22/6) di ruang pola kantor Bupati.
“Digelarnya rapat hari ini, (karena) ada sebagian masyarakat yang menuntut ganti rugi lahan yang mereka kuasai. Namun, setelah dilihat, lahan yang mereka komplain atau mereka mintakan ganti rugi itu masuk dalam kawasan lindung,” kata Kadis Perhubungan Kabupaten Pohuwato, Yunus Muhammad yang juga anggota panitia pengadaan tanah pembangunan bandara Pohuwato.
Yunus mengungkapkan, total jumlah kawasan lindung yang telah diurus oleh pemerintah dari perubahan fungsi, pelepasan hingga tapal batas kawasan hutan produksi yang dapat di konversi untuk pembangunan bandara Pohuwato sebanyak 40,84 hektare.
“Yang dituntut oleh masyarakat sampai digelarnya rapat hari ini karena seperti yang kita dengarkan tadi (meminta ganti rugi pembebasan lahan), bahwa lahan yang ada di kawasan lindung itu tidak bisa dilakukan pembayaran,” terangnya.
Pada dasarnya Yunus mengatakan, pemerintah daerah akan melakukan ganti rugi lahan kepada masyarakat yang terdampak pembangunan bandara tersebut, sepanjang ada regulasi yang mendukung ganti rugi itu sendiri. Ia khawatir, apabila lahan di kawasan lindung tersebut tetap dipaksakan untuk di bayarkan ganti rugi kepada masyarakat, dikhawatirkan akan serupa dengan kasus Gorontalo Outter Ring Road (GORR).
Yunus membenarkan bahwa masyarakat yang meminta ganti rugi lahan tersebut memiliki SKPT. Akan tetapi kata Yunus, meskipun mereka memiliki SKPT bukan berarti surat tersebut dapat menjamin mereka adalah pemilik sah atas tanah itu.
“Memang benar mereka ada SKPT, surat keterangan penguasaan tanah yang ditandatangani Kepala Desa, Anis Hiola, tahun 2009 dan 2010. Tapikan tidak menjamin bahwa alas hak itu bukti kepemilikan yang ini (sah) yah,” bebeberpa
Adapun terkait dengan Kepala Desa yang mengeluarkan SKPT tersebut kata dia, Forkompinda akan membahas hal tersebut secara internal. Diketahui, sisa tanah yang akan bebaskan pada tahun 2021 atau tahun ini adalah 25,04 hektare.
Untuk menguji keabsahan Surat Keterangan Penguasaan Tanah tersebut, Yunus memberikan solusi kepada masyarakat. Ia mempersilahkan kepada masyarakat yang merasa keberatan dengan tidak adanya ganti rugi atas pembebasan lahan tersebut untuk menggugat pemerintah.
“Tapi mereka merasa ada kepemilikan, gugat pemerintah, menguji keabsahan itu, bahwa surat itu seharusnya di bayar,” katanya.
Hal itu ia sarankan, agar pemerintah daerah Pohuwato memiliki dasar untuk melakukan ganti rugi jika memang benar harus melakukan ganti rugi.
“Untuk melakukan pembayaran itu ada dasar, ada keputusan pengadilan bahwa itu harus dibayarkan,” bebernya.
Bahkan terkait tidak adanya pembayaran lahan itu kata dia, juga sudah di tegaskan oleh KPH, BPKH, dan Dinas DLH dan Kehutanan Provinsi Gorontalo.
“Makanya saya sampaikan tadi di DPR, mohon dukungan dari mereka support gugat pemerintah pak untuk menguji itu, bahwa itu absah memang harus dibayar. Kita kalau ada dari pengadilan harus di bayar kita bayar, begitu,” tandasnya.
Aktivis Pohuwato, Mahmudin Mahmud yang juga sedari awal mempresure masalah tersebut menanggapi apa yang menjadi pernyataan pemerintah daerah terkait dengan SKPT yang tidak bisa dijadikan alas hak sebagai pembayaran tanah tersebut. Ia mengaku heran, padahal sebelumnya kata dia, sebagian besar lahan masyarakat yang dibebaskan sebelumnya juga hanya mengandalkan tanah yang berdasarkan SKPT.
“Itukan dibayarkan karena SKPT juga, surat keterangan penguasaan tanah dari kepala desa juga, dan itu banyak tanah yang dibayarkan atas dasar SKPT. Kok sekarang pemda mengeluarkan pernyataan bahwa tidak dapat dibayarkan dan itu kawasan hutan lindung yang tidak bisa dijadikan alas hak SKPT, sementara di beberapa tahun kemarin itu banyak tanah yang dibayarkan atau dibebaskan dengan dasar SKPT, sehingganya agak kontradiktif antara pernyataan pemda dan kebijakan pemda sebelumnya,” kata Mahmudin saat dihubungi media, Selasa (6/7/2021).
Ia juga mempertanyakan perihal kawasan lindung yang diklaim oleh pemerintah. Dirinya mengatakan, SK yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan SK tahun 2020 yang mestinya kawasan tersebut seharusnya sudah ditertibkan sejak tahun lalu. Tidak hanya itu, terkait dengan SKPT yang tidak bisa dijadikan alas hak bukti kepemilikan tanah tersebut, Mahmudin menyarankan kepada Yunus Muhammad untuk banyak membaca undang-undang.
“Saya menyarankan Kadis itu untuk banyak membaca undang-undang, terutama undang-undang tentang pokok agraria dan undang-undang peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997, khususnya pasal 7 ayat 2 dan pasal 39, bahwa untuk desa-desa dalam wilayah terpencil itu menteri dapat menunjukkan PPAT sementara, dan yang dimaksud dengan PPAT sementara itu surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa, ditegaskan dalam pasal 39 ayat 1 bahwa surat bukti hak sebagaiamana yang dimaksud pada pasal 24 ayat 1 itu adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepalapala Desa,” kata Mahmudin.
Sehingganya kata dia, apabila kita menganalisis undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa SKPT dapat dijadikan sebagai alas hak. Untuk itu, ia sepakat jika persoalan itu harus di uji dulu pengadilan.
“Ayo kita uji di pengadilan, di uji dulu jangan langsung mengklaim tidak bisa dibayarkan. Karena tanah ini bisa dibilang tanah sengketa antara rakyat dan pemerintah, sama-sama punya hak milik. Pemerintah mengatakan tanah ini milik negara, rakyat juga mengatakan ini tanah milik mereka berdasarkan SKPT dan punya dasar hukum yang jelas, SKPT itu memiliki dasar hukum yang jelas jadi tidak bisa diklaim bahwa itu tidak bisa dibayarkan sekarang,” ucapnya.
Apabila tanah itu dipaksakan untuk tidak dibayarkan, ia khawatir akan terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat yang mempertahankan tanahnya. Untuk itu, dirinya berpesan kepada pemerintah Kabupaten Pohuwato, apapun yang menjadi aktivitas pemerintah yang berkaitan dengan tanah rakyat sekiranya berdasarkan pada pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. (B2)