BUTOTA – BOALEMO, Penjabat Bupati Boalemo Sherman Moridu, disebut memberi inovasi terbaru dalam hal pencegahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, Sherman yang baru-baru ini dilantik itu, dinilai tidak pro aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Gorontalo, melalui surat jaminan Pemerintah Daerah terhadap salah satu tersangka korupsi, untuk tidak ditahan.
Koordinator Investigasi LSM Yaphara Gorontalo, Carles Ishak menyesalkan keputusan Kejaksaan Negeri Boalemo yang tidak melakukan penahanan terhadap salah satu tersangka korupsi, pada perkara Dugaan korupsi PJU-TS di Kabupaten Boalemo.
Carles mengatakan, pertimbangan subjektif penyidik Kejaksaan Tinggi Gorontalo pada persetujuan penangguhan tersangka Korupsi yang merugikan negara miliaran rupiah itu, tidak beralasan hukum dan jauh dari standar hukum perkara korupsi .
” Sekalipun ada jaminan penangguhan, yah namanya kasus korupsi jangan tembang pilih. Apalagi, meskipun Jaminannya dari pemerintah daerah. Kejaksaan harusnya tidak melakukan perbuatan itu, ” Kata Carles.
” Apalagi pertimbangan penyidik Kejaksaan, hanyalah karena si tersangka selama pemeriksaan berkelakuan baik dan kooperatif. Para penyidik Kejati lupa bahwa standar hukum terkait alasan subjektif penahanan tersangka itu diantaranya tidak menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan. Terlebih perkara ini adalah perkara khusus. Kualitas pemberantasan korupsi di Gorontalo begitu rendah dan terciderai kalau seperti ini, ” Sambung Carles.
Carles menambahkan, dalam perjalanan sejarah penegakkan hukum khususnya pada pemberantasan korupsi di Gorontalo, pengembalian kerugian negara bukan saja hanya terjadi sekali saja. Dibeberapa perkara sebelumnya seperti perkara bandara djalaludin gorontalo tahun 2012 kerugian negara yg berhasil dikembalikan 6 milyar lebih. Kemudian perkara bansos kota gorontalo tahun 2014, 1 milyar lebih. Namun para tersangkanya tetap dilakukan upaya penahanan. Justru pengembalian kerugian negara yang disita penyidik dijadikan bukti kuat adanya peristiwa pidana serta upaya recovery cost selain upaya pemidanaan. Sehingga, kata Carles, penyidik Kejaksaan Tinggi harus mempertanggungjawabkan akibat dari contoh model terbaru pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Pengembalian kerugian negara itu, tidak menghapus pertanggungjawaban hukum/pidana seseorang hanya sebatas meringankan. Termasuk tidak menghilangkan atau bisa dijadikan alasan pemaaf dalam upaya paksa penahanan. Kemudian jika hanya karena alasan dibutuhkan kapasitas dan tenaganya sebagai ASN oleh Penjabat Boalemo justru penyidik mestinya berfikir konstruktif bahwa si tersangka akan bersentuhan lagi dengan kewenangan dan tugas pengelolaan anggaran. Apakah ada jaminan tidak akan terjadi lagi perbuatan yang sama ataukah Pemda Boalemo sudah kehabisan stok ASN yang kapabel dalam urusan pemerintahan sehingga wajib menggunakan surat sakti tersebut”. Terang Carles.
” Kami dari Yaphara, tidak akan tinggal diam dengan polemik ini. Akan kami laporkan masalah ini. Tadi juga sudah kita diskusikan. Dan kemungkinan besar akan kita lakukan aksi demo. Nanti kita lihat, apa respon Kejaksaan Agung dan Kemendagri terhadap model baru pemberantasan korupsi di Daerah. Sehingga tidak ada kesan bahwa jangan sampai penyidik kejaksaan tinggi tidak konsisten dan melaksanakan standar ganda dalam penanganan perkara korupsi”. Tambah Carles.
Seperti diketahui, Kejaksaan Tinggi Gorontalo sementara menangani kasus korupsi proyek Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU-TS) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Boalemo. Proyek senilai Rp. 18.7 Miliar pada tahun anggaran 2020 ini, terbagi dalam 2 wilayah yaitu Wilayah Timur dan Wilayah Barat.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Gorontalo telah menetapkan dua orang ASN sebagai tersangka pada kasus korupsi PJU-TS di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Masing – masing tersangka tersebut adalah AL yang menjabat sebagai Kepala Bidang Anggaran pada Badan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Boalemo. Dan MP selaku PPK dalam proyek tersebut. [NA-FWK]