Fenomena ‘Rojali’ atau rombongan jarang beli di pusat perbelanjaan menjadi sorotan di tengah kondisi lesunya daya beli masyarakat. Munculnya fenomena ini, yang dikenal luas di kalangan pengunjung mal, menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak ‘window shopping’ daripada berbelanja. Menurut Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), fenomena tersebut terjadi di semua kalangan, baik kelas menengah bawah maupun kelas menengah atas.
Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja, menjelaskan bahwa fenomena rojali adalah dampak langsung dari penurunan daya beli yang masih berlangsung. Ia mencatat: “Walaupun masyarakat tetap datang ke pusat perbelanjaan, perubahan pola belanja terlihat jelas. Karena uang yang tersedia terbatas, mereka lebih cenderung memilih barang-barang dengan harga lebih murah.” Hal ini menggambarkan bagaimana perubahan kondisi ekonomi memengaruhi kebiasaan belanja.
Data terbaru menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih ketat dalam mengelola pengeluaran mereka. Widjaja menegaskan, kegiatan belanja hanya bersifat sementara dan akan kembali normal ketika daya beli masyarakat pulih. Ia mengatakan, “Fenomena ini bukan hal baru. Bila daya beli meningkat, maka konsumsi akan kembali bergairah.”
Salah satu cara yang diambil oleh para pengelola mal untuk mengatasi situasi ini adalah dengan menggencarkan program promo dan diskon. Diskon menjadi strategi penting untuk menarik kembali minat konsumen, khususnya dari kelas menengah bawah, yang paling merasakan dampak dari situasi ini.
Dalam analisisnya, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, menyampaikan bahwa masyarakat, terutama kelas menengah atas, menunjukkan kehati-hatian luar biasa dalam pengeluaran. Ia mengamati dari tren big data, konsumsi belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan. “Kelas menengah atas yang memiliki daya beli cukup tinggi justru mengontrol sekitar 70% dari total konsumi. Kehati-hatian ini terpantau, mirip dengan kondisi krisis tahun 2008,” katanya saat konferensi pers di Labuan Bajo.
Pemasok barang-barang mahal juga pun merasakan dampak dari gaya hidup hemat ini. Mereka melaporkan adanya penurunan permintaan yang signifikan. “Beberapa supplier luxury tas mengindikasikan bahwa mereka menghadapi situasi yang mirip dengan krisis sebelumnya, di mana konsumen lebih memilih untuk menabung atau berinvestasi daripada berbelanja,” ungkap David.
Sementara itu, banyak masyarakat kelas menengah yang lebih memilih untuk menanamkan uang mereka dalam instrumen investasi, seperti deposito dan surat berharga negara. Hal ini menjadi strategi mereka untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih baik di tengah ketidakpastian ekonomi. Menurut David, “Masyarakat kini lebih cenderung ‘memarkirkan’ uang di instrumen yang memberikan bunga menarik, seperti deposito dan emas, ketimbang menghabiskannya untuk konsumsi sehari-hari.”
Dengan kondisi ini, berbagai pengusaha dan peritel harus beradaptasi dengan kebiasaan dan pola belanja baru masyarakat. Promo dan potongan harga menjadi solusi sementara untuk menarik kembali minat pelanggan. Tanpa adanya pemulihan daya beli, fenomena rojali kemungkinan akan terus berlanjut, memaksa pusat perbelanjaan dan brand untuk terus berinovasi dalam strategi pemasaran mereka.
Fenomena rojali di waktu-waktu yang penuh tantangan ini diharapkan dapat menjadi sinyal bagi semua pemangku kepentingan untuk lebih memahami perilaku konsumen yang mengalami perubahan signifikan. Sementara pelaku usaha terus berupaya untuk menyesuaikan penawaran mereka, akan menarik untuk melihat bagaimana konteks ekonomi memengaruhi kebiasaan berbelanja masyarakat di masa mendatang.





