Permintaan yang terus meningkat untuk pusat data kecerdasan buatan (AI) menjadi tantangan serius bagi pasokan energi di seluruh dunia. Pusat data ini memerlukan sumber energi yang cukup besar tidak hanya untuk menghasilkan daya, tetapi juga untuk sistem pendinginan yang diperlukan untuk menjaga suhu alat-alat teknologi tinggi. Situasi ini diprediksi akan berkontribusi pada krisis energi global yang lebih dalam, terutama dengan lonjakan biaya energi yang sudah terjadi dan berdampak pada konsumen.
Menurut laporan dari operator jaringan listrik di Amerika Serikat, PJM, harga energi telah meningkat sebesar 22 persen dibandingkan tahun lalu. Mereka mengumumkan telah mengeluarkan dana sebesar US$329,17 per megawatt (MW) per hari untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus melonjak. Ini membawa total tagihan listrik yang akan dibayarkan kepada produsen energi menjadi sekitar US$16,1 miliar untuk periode satu tahun mendatang, dengan proyeksi kenaikan tagihan listrik bagi pelanggan berkisar antara 1-5 persen.
Direktur pelaksana di ClearView Energy Partners, Timothy Fox, menyatakan bahwa tingginya harga lelang energi ini akan ditanggung oleh para wajib pajak. Hal ini menunjukkan keterkaitan langsung antara permintaan yang meningkat dari sektor teknologi dan dampaknya kepada konsumen akhir. Sejak awal tahun ini, upaya untuk menjaga harga listrik agar tidak memuncak telah dilakukan, tetapi momen ini menjadi penting ketika harga lelang sebelumnya telah melonjak lebih dari 800 persen.
PJM tidak hanya menghadapi tantangan dari peningkatan permintaan energi, tetapi juga dari antrean panjang untuk interkoneksi dan pensiunnya pembangkit listrik tua. Data yang dirilis menunjukkan bahwa pada tahun 2030, sebanyak 12-30 persen dari kapasitas terpasang mungkin akan ditutup. Hal ini menciptakan dilema untuk operator jaringan dalam memenuhi permintaan yang kian meningkat dari pusat data yang melatih AI, tanpa memicu lonjakan lebih lanjut pada tagihan listrik.
Selain masalah energi, penggunaan air juga menjadi isu yang kian mendesak dalam operasi pusat data. Air diperlukan sebagai media pendingin, dengan banyak pusat data menggunakan hingga 80 persen dari total air yang diambil untuk evaporasi. Mengutip laporan dari BBC, satu kueri dari model AI seperti ChatGPT dapat menghabiskan sekitar setengah sendok teh air, tetapi studi menunjukkan bahwa 10 hingga 50 respons padanya dapat menggunakan hingga setengah liter air.
Perkiraan menyebutkan bahwa industri AI dapat mengonsumsi 4 hingga 6 kali lipat lebih banyak air setiap tahun dibandingkan dengan total konsumsi air di Denmark pada tahun 2027. Di tengah meningkatnya pertanyaan tentang keberlanjutan penggunaan sumber daya, perusahaan-perusahaan besar seperti Google, Meta, dan Microsoft melaporkan peningkatan dramatis dalam penggunaan air di pusat data mereka. Google sendiri memperkirakan bahwa pada tahun 2024, pusat datanya akan menarik 37 miliar liter air, dengan sebagian besar air tersebut mengalami penguapan.
Sementara itu, perusahaan teknologi tidak memberikan angka pasti mengenai konsumsi air dari penggunaan AI mereka. Meskipun begitu, data menyimpulkan bahwa penggunaan air yang meningkat di sektor ini berpotensi menciptakan krisis baru bagi sumber daya yang sudah terbatas. Di tingkat global, sektor AI harus mempertimbangkan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dan ketersediaan air, serta menghasilkan solusi yang berkelanjutan untuk menghadapi permintaan yang terus meningkat.
Situasi ini mengajukan pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita bisa mengelola pertumbuhan teknologi sambil tetap mempertahankan sumber daya yang berkelanjutan. Setiap inovasi baru dalam AI seharusnya tidak hanya berorientasi pada efisiensi teknologi, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan dari penggunaan energi dan air. Implementasi kebijakan yang bijaksana dan efisien akan menjadi kunci untuk menghadapi tantangan yang akan datang, menjaga pasokan energi dan sumber daya air di era yang semakin bergantung pada teknologi.





