Dalam beberapa bulan terakhir, industri Peer to Peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) di Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan dalam pendanaan dari investor asing. Hal ini menjadi perhatian penting karena bunga yang ditawarkan dianggap sangat menguntungkan bagi lender luar negeri. Berdasarkan data yang dirilis, pendanaan oleh lender luar negeri mencapai Rp13,09 triliun dari total pendanaan industri P2P lending selama periode Januari hingga Mei 2025.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan bahwa ada perbedaan pola antara reaksi lender domestik dan asing terhadap bunga pinjaman. Ketika bunga pinjaman menurun, biasanya investasi dari lender domestik juga turun. Namun, hal ini tidak berlaku untuk lender asing, yang justru mengalami peningkatan investasi dalam situasi yang sama. Huda mencatat, “Saat bunga turun, semakin banyak uang yang dipinjam, dan potensi pendapatan investasi dari lender juga akan meningkat, yang akan menarik lebih banyak dana dari luar negeri.”
Regulasi mengenai bunga pinjaman yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menambah kompleksitas situasi ini. Batasan manfaat ekonomi yang baru diterapkan oleh OJK menetapkan suku bunga harian maksimum untuk sektor konsumtif dan produktif. Meskipun pengaturan tersebut bertujuan untuk melindungi peminjam, hal itu tampaknya tidak mempengaruhi minat lender asing yang beradaptasi dengan risiko yang lebih tinggi.
Sementara itu, Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, menggarisbawahi bahwa bunga pinjaman online di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan bunga pinjaman serupa di luar negeri. Dengan tingkat suku bunga yang dapat mencapai 108% per tahun, tak mengherankan jika pasar Indonesia menjadi daya tarik utama bagi lender asing. “Nilai tawar kita tinggi,” ungkap Heru.
Namun, potensi pertumbuhan ini tidaklah tanpa risiko. Banyak pihak khawatir bahwa dana yang masuk adalah “uang panas,” atau dana yang berpindah tangan dari aktivitas ilegal, seperti judi online dan korupsi. Heru menegaskan, “Banyak dari mereka yang menanamkan uang di pinjol ilegal untuk mencuci uang.” Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap stabilitas ekonomi dan keamanan finansial di Indonesia.
Meskipun keterlibatan lender luar negeri disebutkan mampu mencerminkan minat global terhadap industri P2P lending di Indonesia, pengawasan harus semakin diperketat. Kasus gagal bayar telah membuat lender domestik menjadi lebih berhati-hati dan mengurangi pendanaan mereka. Sebagai gambaran, pertumbuhan pendanaan dari lender asing menunjukkan fluktuasi yang tajam. Data menunjukkan bahwa selama periode Januari-Maret 2025, terjadi pertumbuhan 12% year-on-year, sedangkan untuk bulan Mei 2024, lender asing tumbuh 8,05%.
Keberadaan lender asing dalam industri ini mengindikasikan potensi pertumbuhan yang besar. Namun, tantangan berupa regulasi, risiko gagal bayar, dan masalah legalitas pendanaan harus menjadi perhatian utama. Kenaikan pendanaan P2P lending dari luar negeri mencerminkan daya tarik pasar tetapi juga menjadi pengingat bahwa pengawasan yang ketat sangat diperlukan untuk menjaga integritas sektor keuangan Indonesia.
Situasi ini menuntut kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan pihak lain untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berkelanjutan bagi para peminjam dan investor. Masyarakat perlu terus diperhatikan dalam hal edukasi finansial agar dapat memahami risiko yang mungkin muncul dari penggunaan layanan pinjaman online.





