Ribuan pekerja pabrik pesawat tempur Boeing di St. Louis, Amerika Serikat, menghadapi situasi yang tegang setelah mereka menolak tawaran kontrak kerja terbaru dari perusahaan. Penolakan ini bisa berujung pada mogok kerja yang berpotensi mengguncang produksi pesawat generasi terbaru bagi Angkatan Udara AS. Lebih dari 3.200 anggota serikat pekerja International Association of Machinists and Aerospace Workers (IAM) District 837 dengan tegas menolak proposal kontrak yang diajukan Boeing pada akhir pekan lalu.
Dalam tawaran tersebut, Boeing mencantumkan peningkatan gaji sebesar 20% dalam periode empat tahun, bonus penandatanganan sebesar USD 5.000 (sekitar Rp 81 juta), serta tambahan cuti dan hari sakit. Namun, pihak serikat pekerja menganggap tawaran tersebut tidak mencukupi untuk menjawab prioritas dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh tenaga kerja terampil mereka. “Proposal dari Boeing Defense tidak cukup untuk menjawab prioritas dan pengorbanan tenaga kerja terampil IAM,” tegas serikat dalam pernyataan resmi.
Boeing menyatakan kekecewaannya terhadap hasil pemungutan suara tersebut. Dan Gillian, Wakil Presiden Air Dominance Boeing, mengklaim bahwa tawaran itu merupakan yang terbaik yang pernah diajukan kepada serikat IAM 837. “Kami sudah aktifkan rencana darurat dan fokus untuk menghadapi potensi mogok. Tidak ada jadwal pertemuan lebih lanjut dengan serikat saat ini,” ungkap Gillian dalam pernyataan via email.
Kontrak kerja yang berlaku saat ini akan berakhir dalam waktu dekat, dan setelahnya akan ada masa tenang selama tujuh hari. Jika kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan, mogok kerja dapat dimulai. Ancaman mogok ini muncul di tengah upaya Boeing untuk memperluas fasilitas produksi pertahanan di St. Louis, terutama terkait pesawat tempur F-47 yang sedang dikembangkan dalam program Next Generation Air Dominance (NGAD). Program ini dirancang untuk menggantikan pesawat tempur F-22 Raptor milik militer AS.
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara Boeing dan serikat pekerja telah diuji, terutama terkait masalah upah dan kondisi kerja. Penolakan terhadap tawaran kali ini mencerminkan ketidakpuasan di antara pekerja yang merasa bahwa kontribusi dan skill mereka belum mendapatkan pengakuan yang sebanding. Ini juga menunjukkan adanya ketidakpastian di masa depan bagi produksi pesawat tempur yang sangat penting bagi keamanan nasional.
Pekerja yang menolak kontrak menginginkan lebih dari sekadar peningkatan gaji. Mereka menuntut agar Boeing mempertimbangkan berbagai faktor lainnya, termasuk keamanan kerja dan kesejahteraan. Serikat pekerja berusaha memastikan bahwa para anggota mereka tidak hanya mendapatkan bonus dan kenaikan gaji, tetapi juga stabilitas di tempat kerja.
Dalam situasi seperti ini, keberadaan serikat pekerja menjadi sangat penting. Mereka berperan sebagai suara bagi pekerja yang mungkin merasa terpinggirkan dalam proses negosiasi. Komitmen untuk memperjuangkan hak-hak pekerja akan terus menjadi fokus utama.
Sebagai langkah strategi, Boeing telah mulai mengaktifkan rencana darurat untuk menghadapi kemungkinan mogok, mempertegas betapa seriusnya dampak dari penolakan ini di lini produksi yang sentral. Dengan semua faktor ini, masa depan produksi pesawat tempur di St. Louis kini berada di persimpangan yang kritis.
Boeing dikenal sebagai salah satu raksasa industri penerbangan dunia, dan setiap tindakan yang diambilnya akan diawasi dengan ketat. Ancaman mogok ini tidak hanya berpotensi mempengaruhi produksi di pabrik St. Louis, tetapi juga dapat memberikan dampak luas pada industri pertahanan dan ekonomi secara keseluruhan.
Dengan situasi yang terus berkembang, semua mata kini tertuju pada proses negosiasi selanjutnya dan bagaimana kedua pihak akan berusaha mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Waktu yang tersisa sebelum kontrak saat ini berakhir semakin singkat, dan tekanan dari pekerja dan masyarakat akan terus meningkat seiring berlangsungnya pembicaraan ini.
