Jelang Operasional Penjaminan Polis Asuransi, Indonesia Ikuti Jejak Jepang & Korsel

Jelang implementasi penjaminan polis asuransi yang direncanakan berlaku pada tahun 2028 oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Indonesia berupaya mengambil langkah strategis dengan merujuk praktik dari negara-negara maju, khususnya Jepang dan Korea Selatan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat mekanisme proteksi bagi pemegang polis asuransi di Tanah Air, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan perlindungan finansial yang lebih solid.

Direktur Utama PT Asuransi Asei Indonesia, Dody Achmad Sudiyar, menyatakan bahwa sejumlah negara, termasuk Jepang dan Korea Selatan, telah berhasil menerapkan sistem penjaminan yang efektif melalui mekanisme yang terstruktur. “Beberapa negara sudah memiliki skema insurance guarantee fund (IGF) atau policyholder protection scheme (PPS), dan berjalan dengan baik,” ungkap Dody dalam wawancaranya dengan Bisnis pada Senin (28/7/2025).

Di Korea Selatan, penjaminan polis dijalankan oleh Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), yang menerapkan skema risk-based premium yang berlaku untuk sektor perbankan dan asuransi. Sistem ini memberikan pendekatan yang adil dengan meminimalkan risiko serta memberikan premi yang proporsional berdasarkan risiko masing-masing perusahaan asuransi.

Praktik Penjaminan di Jepang

Sementara itu, di Jepang, proteksi bagi pemegang polis asuransi diwujudkan melalui Life Insurance Policyholders Protection Corporation of Japan. Lembaga ini memastikan bahwa pemegang polis asuransi jiwa dan kesehatan mendapatkan perlindungan yang mencukupi. Selain itu, dalam praktiknya, di Jepang juga ada transparansi dalam limit klaim yang dapat diajukan oleh pemegang polis, serta peran regulator yang sangat proaktif dalam menangani masalah yang dihadapi perusahaan asuransi yang mengalami kebangkrutan.

“Praktik di Jepang dan Korea Selatan tersebut dapat dijadikan contoh untuk Indonesia karena mekanisme preminya bertingkat dan responsif terhadap kondisi pasar,” tambah Dody. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah untuk tidak hanya menutup perusahaan asuransi yang bermasalah, tetapi juga mencari solusi untuk menyelamatkan atau bahkan mengalihkan tanggung jawab kepada badan penjamin.

Keterkaitan dengan Penyelesaian Kasus

Direktur Eksekutif Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS, Ridwan Nasution, juga menjelaskan bahwa implementasi penjaminan polis asuransi di negara maju menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. “Prinsip dasar skema penjaminan adalah pihak penjamin akan mengambil alih tanggung jawab perusahaan asuransi yang bangkrut dan tidak memenuhi kewajibannya,” terang Ridwan. Hal ini sangat relevan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, seperti yang dialami oleh Asuransi Jiwasraya.

Di luar negeri, beberapa lembaga penjamin memiliki mandat yang lebih luas, termasuk melakukan penyelamatan atau merger perusahaan asuransi yang dalam kesulitan. “Ada yang bukan hanya sekedar menutup, tapi juga memastikan bahwa perusahaan asuransi tetap bisa beroperasi atau bertransformasi agar tidak merugikan pemegang polis,” sambungnya.

Tantangan dan Harapan

Dengan merujuk pada praktik baik di Jepang dan Korea Selatan, Indonesia kini dihadapkan pada tantangan untuk merancang skema penjaminan yang efektif dan berkelanjutan. Hal ini meliputi penyusunan regulasi yang jelas, penentuan struktur premi yang adil, serta penguatan peran regulator dalam memantau kondisi kesehatan perusahaan asuransi.

Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, regulator, dan industri asuransi sangat penting. Diharapkan, langkah-langkah ini bukan hanya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi, tetapi juga menciptakan ekosistem yang lebih aman bagi pemegang polis.

Dengan memahami praktik terbaik dari negara lain, diharapkan Indonesia dapat menghadirkan mekanisme penjaminan polis asuransi yang tidak hanya berfungsi sebagai alat perlindungan, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas layanan serta transparansi dalam industri asuransi.

Berita Terkait

Back to top button