BPR Dwicahaya Nusaperkasa, yang berlokasi di Jalan Sukarno Nomor 199, Junrejo, Kota Batu, Jawa Timur, baru-baru ini dinyatakan bangkrut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Izin usaha bank ini dicabut terhitung sejak 24 Juli 2025, menjadi bagian dari langkah OJK yang telah mencabut izin usaha 22 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) lainnya selama periode 2024-2025. Dengan penutupan ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mempersiapkan langkah-langkah untuk membayar klaim penjaminan simpanan yang dimiliki oleh nasabah BPR tersebut.
BPR Dwicahaya Nusaperkasa, yang juga dikenal dengan nama Bank Cahaya, didirikan pada tahun 1989 dan telah mengalami beberapa perubahan kepemilikan selama beroperasi. Menurut laman resmi Perbarindo, bank ini senantiasa berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh lapisan masyarakat serta mempertahankan hubungan positif dengan para pemangku kepentingan. Dalam menjalankan operasionalnya, BPR ini mengedepankan visi “Maju Bersama Membangun Kota Batu dan Sekitarnya,” yang mencakup tujuan untuk memperluas jaringan, meningkatkan daya saing, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Prinsip dasar yang dipegang oleh BPR Dwicahaya Nusaperkasa adalah memberikan akses perbankan kepada masyarakat yang mungkin terabaikan oleh bank-bank besar. Dengan kepemilikan terakhir yang didominasi oleh Tjutjuk Sunario (76%), dan Galih Kusumawati (24%), bank ini menjadi salah satu institusi yang berusaha untuk menjembatani gap antara kebutuhan keuangan masyarakat dan layanan perbankan yang ada.
Namun, keputusan OJK untuk mencabut izin usaha BPR ini bukan tanpa alasan. Banyak faktor yang dipertimbangkan, diantaranya adalah kesehatan finansial bank, kepatuhan terhadap regulasi, dan kualitas layanan yang diberikan kepada nasabah. Dengan semakin meningkatnya tekanan di sektor perbankan, OJK mengedepankan upaya pembersihan bagi industri yang dianggap tidak mampu memenuhi standar operasional.
Selama satu dekade terakhir, sektor BPR menghadapi tantangan yang cukup berat. Pengawasan lebih ketat dari OJK dan perkembangan teknologi finansial yang semakin cepat telah membuat daya saing BPR tergerus. Masyarakat kini lebih memilih menggunakan layanan perbankan digital yang menawarkan kemudahan dan efisiensi yang lebih tinggi.
Kebangkrutan BPR Dwicahaya Nusaperkasa juga menambah daftar panjang BPR yang terpaksa gulung tikar di Indonesia. Investor dan pengamat industri khawatir bahwa tren ini dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan lokal, terutama terhadap kemampuan BPR dalam mengelola simpanan nasabah.
Dalam rangka mencegah terulangnya kasus serupa, OJK dan LPS tengah berupaya untuk meningkatkan pengawasan serta memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya memilih lembaga keuangan yang sehat dan terpercaya. Dalam situasi ini, langkah-langkah preventif sangat diperlukan agar nasabah tidak lagi menjadi korban praktik perbankan yang tidak sehat.
BPR Dwicahaya Nusaperkasa menjadikan sejarahnya sebagai refleksi dari dinamika dunia perbankan lokal. Meskipun banyak usaha telah dilakukan untuk memberikan pelayanan terbaik, tantangan yang dihadapi tidak bisa diabaikan. Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran bagi BPR lain untuk lebih proaktif dalam mengelola risiko serta mematuhi regulasi yang ada.
Pengamat ekonomi menyarankan agar pihak-pihak terkait melakukan evaluasi mendalam terhadap modal dan praktik bisnis BPR di masa depan. Penguatan regulasi dan kebijakan, serta dukungan terhadap inovasi teknologi menjadi kunci untuk memperbaiki kesehatan industri perbankan rakyat di Indonesia.
Dengan demikian, meskipun BPR Dwicahaya Nusaperkasa telah menyudahi operasionalnya, langkah-langkah yang diambil oleh OJK dan LPS mungkin dapat membantu mencegah kebangkrutan BPR lain di masa yang akan datang. Perhatian yang lebih besar pada pelayanan nasabah dan kepatuhan terhadap aturan akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas sektor ini.





