Daya beli kelas menengah di Indonesia semakin terjepit, ditandai dengan kondisi gaji yang stagnan dan tingginya biaya hidup. Di tengah kenaikan harga barang dan jasa, banyak individu dalam kelompok ini terpaksa merombak kebiasaan belanja dan pengeluaran sehari-hari. Fenomena membawa bekal dari rumah menjadi salah satu cara yang dipilih untuk menghemat pengeluaran makan, yang kini mulai menjangkau pekerja hingga mahasiswa. Ekonom senior dari INDEF, Tauhid Ahmad, menyoroti bahwa penghematan ini muncul dari kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengatur finansial mereka.
Dari pengamatan Tauhid, mahasiswa yang biasanya mengandalkan makanan dari luar kini beralih ke bekal rumah atau membeli makanan dari warung murah. Dengan penghematan yang terbilang kecil, seperti selisih Rp 10.000 hingga Rp 15.000, mereka merasa lebih bijak dalam mengelola anggaran. Tidak hanya itu, tren pengurangan penggunaan kredit juga nampak nyata. Sebagian besar masyarakat merasa tidak percaya diri untuk mengambil pinjaman, mengingat laju kredit perbankan yang merosot ke angka tertinggi sekitar 7-8%. Hal ini menunjukkan adanya rasa cemas dan ketidakstabilan finansial yang melanda kelas menengah.
Menilai dari sisi ekonomi, situasi ini disebabkan oleh stagnasi gaji yang tidak sebanding dengan kenaikan pengeluaran. Tauhid mengungkapkan, gaji Rp 3 juta yang sebelumnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kini tidak memadai seiring peningkatan biaya sewa hingga harga kebutuhan pokok. Di kota-kota besar, kenaikan biaya pendidikan dan kesehatan turut menambah beban finansial kelas menengah, yang berupaya menyesuaikan anggaran dengan kenyataan, yang semakin sulit dijangkau.
Sementara itu, data yang dikumpulkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencerminkan bahwa ada penurunan pada simpanan kelas menengah, khususnya pada simpanan di bawah Rp 100 juta. Meskipun masyarakat mulai berhemat, dana yang bisa ditabung semakin menyusut. LPS melaporkan bahwa simpanan di bawah Rp 100 juta mengalami kontraksi sebesar 0,9% per Mei 2025, menunjukkan tekanan yang lebih besar pada daya beli masyarakat. Di sisi lain, simpanan pada kelompok kaya mengalami pertumbuhan, yang menggambarkan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat di Indonesia.
Fenomena ini menjadi lebih jelas ketika kita melihat distribusi simpanan di perbankan. Meskipun total nominal simpanan Bank Umum naik terbatas sebesar 0,4%, kenaikan tersebut didominasi oleh mereka yang memiliki tabungan tinggi, dengan simpanan di bawah Rp 5 miliar yang meningkat 1%. Pada kenyataannya, kelompok kaya mengakumulasi simpanan dengan laju yang lebih cepat, sementara kelas menengah terus berjuang dengan berhemat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hal ini menyebabkan pertanyaan besar tentang masa depan kelas menengah di Indonesia. Apakah mereka akan terus berjuang untuk bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi ini? Dengan pemotongan pengeluaran yang terpaksa dilakukan, ada tantangan besar untuk meningkatkan simpanan dan membangun kembali kepercayaan diri dalam mengelola keuangan. Mempertahankan gaya hidup yang lebih sederhana mungkin menjadi pilihan, tetapi ini membawa kita pada refleksi mendalam tentang kondisi ekonomi yang harus dihadapi.
Di tengah kesulitan yang ada, kelas menengah perlu beradaptasi dan menemukan cara baru untuk bertahan, termasuk memanfaatkan keahlian dan sumber daya yang ada. Masyarakat diharapkan mampu menyusun rencana keuangan yang lebih efisien untuk mengatasi tekanan inflasi yang terus membebani anggaran keluarga. Penyesuaian dalam pola hidup dan konsumsi merupakan langkah penting dalam mencapai stabilitas ekonomi, meski tidak mudah di tengah tantangan yang terus menerus mengintai.





