
Sorotan terhadap Ivan Yustiavandana, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), semakin mencuat seiring dengan kebijakan pemblokiran rekening “nganggur” yang diterapkan lembaganya. Kebijakan ini berdampak signifikan pada banyak rekening yang tidak aktif, dan menuai berbagai tanggapan dari publik. Hal ini juga memicu perhatian tentang gaji dan tunjangan yang diterima Ivan sebagai pejabat tinggi di lembaga tersebut.
Ivan Yustiavandana diketahui menerima gaji pokok sekitar Rp23 juta per bulan. Selain gaji pokok, ia juga memperoleh tunjangan khusus yang bervariasi antara Rp38 juta hingga Rp47,5 juta setiap bulannya. Dengan demikian, total penghasilan Ivan sebagai Kepala PPATK diperkirakan mencapai sekitar Rp61 juta hingga hampir Rp70 juta per bulan. Angka ini belum termasuk fasilitas tambahan seperti rumah dinas, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2013 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 84 Tahun 2019.
Peraturan tersebut menegaskan bahwa pejabat di lingkungan PPATK berhak atas tunjangan kinerja dan tunjangan melekat, termasuk tunjangan keluarga dan pangan. Sebagai pemimpin lembaga yang berperan penting dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Ivan memikul tanggung jawab yang sangat berat. Fasilitas penunjang bagi Kepala PPATK, termasuk rumah dinas, memiliki nilai setara dengan Rp24,5 juta per bulan, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2017.
Dalam hal penghasilan, Ivan Yustiavandana menduduki posisi teratas di PPATK. Wakil Kepala PPATK mendapatkan gaji pokok sekitar Rp21,5 juta dan tunjangan khusus sebesar Rp33,5 juta per bulan. Sedangkan pejabat lain dengan kelas jabatan lebih rendah mendapatkan tunjangan yang bervariasi, mulai dari Rp3,6 juta hingga Rp36,5 juta per bulan, tergantung pada jenjang jabatan.
Sebagai contoh, pejabat dengan kelas jabatan 1 menerima tunjangan Rp3,6 juta, kelas 5 mendapatkan Rp6,05 juta, kelas 10 sebesar Rp16,39 juta, kelas 14 Rp33,8 juta, dan kelas 15 sebesar Rp36,5 juta. Data ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam penghasilan di antara pejabat PPATK.
Setiap kebijakan mengenai gaji dan tunjangan tersebut diupayakan dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas publik. PPATK memiliki kewajiban untuk secara rutin melaporkan kinerja dan keuangannya kepada masyarakat, sebagai bagian dari pertanggungjawaban berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Di sisi lain, kebijakan pemblokiran rekening yang diterapkan oleh PPATK memblokir 31 juta rekening dormant sejak 15 Mei lalu. Namun, perhatian publik baru meningkat ketika beberapa individu mendapati rekening mereka diblokir tanpa pemberitahuan sebelumnya. Menanggapi protes tersebut, PPATK akhirnya membuka kembali 28 juta rekening yang sempat diblokir, memastikan bahwa proses pemblokiran dan pembukaan dilakukan secara hati-hati dan sesuai prosedur.
Kebijakan pemblokiran rekening ini bersifat sementara dan merupakan langkah untuk mencegah penyalahgunaan rekening nganggur untuk aktivitas ilegal, termasuk jual beli ilegal dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan upaya tersebut, PPATK berusaha untuk menjaga integritas sistem keuangan di Indonesia dan melindungi masyarakat dari praktik yang merugikan.
Melalui segala kebijakan dan pengawasan yang dilakukan, Ivan Yustiavandana dan PPATK berupaya mempertahankan reputasi lembaga serta mendukung upaya pencegahan kejahatan keuangan di tanah air, meskipun harus tetap menghadapi tantangan dan kritik dari berbagai pihak.





