
Guncangan terhadap kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terasa kuat di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia. Namun, melalui negosiasi yang intens, Malaysia berhasil mengamankan keringanan tarif, menjadikannya salah satu negara yang sukses beradaptasi dalam situasi sulit ini. Saat ini, tarif yang dikenakan untuk ekspor Malaysia ke AS berada di angka 19%, turun dari ancaman sebelumnya yang mencapai 25% pada Juli lalu.
Keringanan tarif ini ditetapkan dalam sebuah perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada 31 Juli, menjelang deadline 1 Agustus yang ditetapkannya untuk negara-negara mitra untuk merundingkan kesepakatan perdagangan dengan pemerintahannya. Dalam negosiasi, Malaysia menekankan komitmennya untuk menindak penyelundupan semikonduktor canggih dan perannya dalam memediasi konflik antara Thailand dan Kamboja. Akibatnya, tarif Malaysia kini sejalan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Indonesia, dan Filipina.
Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia, Zafrul Aziz, menekankan bahwa dalam perundingan ini, ada garis merah yang tidak dapat dilanggar pemerintah. Garis ini mencakup tidak mengorbankan kedaulatan nasional dan tidak menyingkirkan mitra dagang lain demi mencapai kesepakatan dengan AS. Kendati demikian, dampak dari tarif AS ini diperkirakan cukup signifikan bagi perekonomian Malaysia.
Berdasarkan data dari Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), terdapat defisit neraca barang sebesar USD24,8 miliar antara AS dan Malaysia pada tahun lalu, sementara AS juga tercatat sebagai investor asing terbesar di Malaysia.
Isi Negosiasi: Sektor-Sektor Utama
Kesepakatan antara Malaysia dan AS mencakup beberapa sektor penting yang menjadi pondasi kerjasama ini, termasuk teknologi, semikonduktor, energi, penerbangan, dan telekomunikasi. Dilansir dari TheBusinessTimes, kesepakatan ini mencakup komitmen senilai USD150 miliar (sekitar Rp2,45 kuadriliun) selama lima tahun oleh sejumlah perusahaan multinasional yang berbasis di Malaysia.
Sebagai contoh, Telekom Malaysia berencana membeli peralatan telekomunikasi senilai USD119 juta (sekitar Rp1,9 triliun). Selain itu, ada investasi lintas batas Malaysia yang diperkirakan mencapai USD70 miliar di AS selama sepuluh tahun ke depan. Perusahaan energi milik negara, Tenaga Nasional, juga berkomitmen untuk membeli batu bara senilai USD42,6 juta per tahun. Begitu juga dengan Petroliam Nasional Berhad atau Petronas, yang akan membeli gas alam cair senilai USD3,4 miliar per tahun.
Impor dan Bea Masuk
Dalam kesepakatan ini, Malaysia sepakat untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan bea masuk atas 98,4% impor dari AS. Ini juga termasuk penghapusan sejumlah hambatan non-tarif tertentu, serta mencabut persyaratan bagi platform media sosial dan penyedia layanan cloud dari AS untuk menyumbang sebagian dari pendapatan mereka ke dana pemerintah Malaysia.
Di sisi lain, kesepakatan ini juga mencakup pembelian pesawat Boeing senilai USD19 miliar oleh Malaysia Aviation Group (MAG). Namun, Zafrul menekankan bahwa pesanan Boeing ini tidak terkait langsung dengan respons terhadap tarif yang dikenakan oleh pemerintah AS.
Tarif yang dikenakan pada Malaysia saat ini sejajar dengan tarif yang dikenakan pada negara-negara seperti Thailand, Indonesia, Kamboja, dan Filipina. Meskipun tarif Malaysia lebih rendah dari Vietnam yang mencapai 20% dan Brunei sebesar 25%, tarif ini tetap lebih tinggi dibandingkan saat dikenakan pada Singapura, yang hanya sebesar 10%. Di sisi lain, Laos dan Myanmar tercatat mengalami tarif tertinggi di ASEAN dengan 40%.
Dari data yang ada, dapat disimpulkan bahwa Malaysia berhasil melalui negosiasi dengan AS dengan baik, meskipun tantangan tetap ada. Kebijakan perdagangan yang berhasil diimplementasikan ini berpotensi memberikan dampak positif bagi perekonomian Malaysia dalam jangka panjang, di tengah berbagai komplikasi yang muncul akibat proteksionisme dan kebijakan tarif yang ketat dari negara-negara mitra dagang.





