
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunjukkan ambisi untuk menghidupkan kembali hubungan bisnis dengan Rusia di tengah ketegangan global yang terjadi setelah invasi negeri tersebut terhadap Ukraina pada Februari 2022. Menghadapi tantangan sanksi yang ketat dan eksodus perusahaan Barat, Trump mengindikasikan bahwa jika hubungan AS-Rusia membaik, peluang bagi perusahaan-perusahaan AS untuk memasuki pasar Rusia lagi mungkin akan terbuka.
Di atas pesawat Air Force One, sebelum bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska, Trump mencatat adanya minat dari pengusaha Rusia untuk berbisnis. "Saya perhatikan (Putin) membawa banyak pengusaha dari Rusia, dan itu bagus," ujar Trump. Menurutnya, semua itu tergantung pada penyelesaian konflik yang berlangsung. Hal ini mencerminkan suatu harapan bahwa pertemuan ini bisa membuka jalan bagi kesepakatan yang lebih luas antara kedua negara.
Rusia sendiri nampak menjawab sinyal positif tersebut. Menteri Keuangan Anton Siluanov dan kepala dana kekayaan negara Rusia, Kirill Dmitriev, telah menyatakan ketertarikan untuk menjalin kembali hubungan ekonomi dengan AS. Keinginan ini sejalan dengan harapan untuk mencapai kemajuan dalam terminologi bisnis, seperti yang dikatakan Trump, "Mereka ingin mendapatkan bagian dari apa yang telah saya bangun dalam hal ekonomi."
Namun, kondisi faktual di lapangan menunjukkan bahwa kembali ke iklim bisnis yang kondusif di Rusia bukan hal yang mudah. Sejak perang dimulai, lebih dari seribu perusahaan global, termasuk nama besar seperti Apple dan Goldman Sachs, telah menghentikan aktivitas operasional mereka di Rusia. Data dari Yale School of Management menunjukkan dampak signifikan dari kebijakan sanksi yang diterapkan sebagai reaksi terhadap invasi tersebut.
Rusia tampaknya sudah melakukan penyesuaian terhadap sanksi yang dikenakan, terutama dari sektor energi. Sementara Eropa dan AS mengurangi ketergantungan pada sumber energi Rusia, negara seperti India dan Tiongkok kini menjadi pasar alternatif utama. Menurut laporan dari perusahaan data energi Vortexa, Rusia menyuplai 36% dari total impor minyak mentah India saat ini.
Batasan harga minyak yang diberlakukan oleh G7 juga menciptakan tantangan tambahan. Kebijakan ini dirancang untuk memotong pendapatan Rusia sambil tetap mempertahankan pasokan minyak global. Diperkirakan bahwa pencabutan batas tersebut akan sulit dilakukan tanpa dukungan dari komunitas internasional.
Terhambat oleh Uni Eropa
Salah satu rintangan terbesar dalam mengembalikan hubungan bisnis antara AS dan Rusia adalah sistem perbankan yang terputus dari jaringan keuangan global. Setelah invasi ke Ukraina, AS dan sekutunya melarang sejumlah bank Rusia dari akses SWIFT, yang merupakan jaringan komunikasi keuangan internasional. Dalam hal ini, Janis Kluge, peneliti dari German Institute for International and Security Affairs, menjelaskan bahwa AS tidak bisa mengizinkan bank-bank Rusia kembali ke jaringan SWIFT tanpa persetujuan dari Uni Eropa.
Korupsi di Rusia juga menjadi faktor penghalang. Menurut Transparency International, negara ini menduduki peringkat 136 dalam persepsi korupsi sektor publik tahun 2021. Hal ini menambah kompleksitas untuk menjalin hubungan bisnis yang sehat, seperti yang diinginkan oleh Donald Trump.
Sekalipun ada niatan untuk memperbaiki hubungan dagang, langkah ini memerlukan pendekatan komprehensif yang mencakup perubahan nyata dalam kebijakan sanksi dan perbaikan dalam struktur ekonomi Rusia. Hubungan AS dan Rusia masih berada di jalur yang rumit, dengan harapan yang ada perlu diimbangi dengan tindakan konkret dari kedua belah pihak.
Di saat ketegangan global semakin meningkat, bagaimana kesepakatan atau kerjasama ini dapat terwujud masih menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab dalam waktu dekat. Respon terhadap sinyal-sinyal diplomasi yang bisa dibaca oleh masyarakat internasional sangat penting untuk dinantikan.





