Wacana konsolidasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam sektor asuransi dan reasuransi semakin mengemuka setelah pernyataan resmi dari Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar. Menurutnya, rencana merger ini diprakarsai oleh BPI Danantara yang berupaya mengkonsolidasikan 16 perusahaan asuransi BUMN menjadi tiga entitas utama. Langkah ini dianggap penting untuk meningkatkan efisiensi sistem dan memperkuat posisi industri asuransi di Indonesia.
Praktisi manajemen risiko, Wahyudin Rahman, mengingatkan agar proses konsolidasi ini tidak hanya fokus pada penggabungan entitas, tetapi juga memperhatikan kepatuhan terhadap regulasi OJK, termasuk dalam hal penguatan permodalan dan efisiensi operasional. “Perlindungan terhadap pegawai serta menjaga kepercayaan pemegang polis harus menjadi prioritas utama,” ujarnya. Menurutnya, meskipun konsolidasi memiliki potensi untuk meningkatkan sinergi dan governance risiko, hal tersebut harus dilakukan dengan hati-hati.
Penggabungan ini juga diharapkan bisa mengatasi masalah defisit yang melanda industri asuransi dan reasuransi. OJK melaporkan bahwa defisit reasuransi yang terjadi dalam tiga tahun terakhir terus melebar. Di tahun 2022, nilai defisit tercatat sebesar Rp7,95 triliun, meningkat menjadi Rp10,20 triliun di tahun 2023, dan diperkirakan mencapai Rp12,10 triliun pada tahun 2024.
Pakar asuransi Julian Noor menegaskan pentingnya melakukan kajian mendalam untuk memahami dinamika dan kesehatan industri sebelum langkah merger diambil. “Pertumbuhan industri asuransi tidak cukup kuat, jadi pemerintah perlu mengevaluasi kondisi ekosistem reasuransi sebelum melakukan konsolidasi,” kata Noor. Dia menyoroti pentingnya kerja sama antar perusahaan reasuransi sebagai langkah awal dalam menyelesaikan masalah ini.
Sementara itu, Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, menyatakan bahwa merger ini direncanakan berlangsung pada 2028. Tiga perusahaan yang akan dimerger adalah PT Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re), PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure), dan PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasional Re). Meskipun rencana ini sudah dipublikasikan, Prastomiyono menekankan bahwa OJK masih menunggu dokumen resmi dari pemerintah terkait proses tersebut.
Konsolidasi ini bukan tanpa tantangan. Menurut Wahyudin, proses transfer dan pengambilan keputusan strategis dapat terpengaruh oleh banyak faktor. “Selama koordinasi dengan OJK dilakukan dengan baik, konsolidasi bisa terwujud secara bertahap dan terstruktur,” tambahnya. Ini menunjukkan perlunya kesinambungan komunikasi antara pemerintah, regulator, dan perusahaan terkait.
Merger BUMN asuransi juga menjadi salah satu instrumen untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di pasar internasional. Dengan mengurangi jumlah entitas yang terlibat, diharapkan pasar reasuransi dapat beroperasi lebih efisien dan lebih kompetitif. Namun, langkah ini perlu ditangani dengan bijak agar tidak mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi.
BPI Danantara sebelumnya mengumumkan rencananya untuk memangkas jumlah entitas asuransi menjadi tiga, yaitu untuk segmen asuransi jiwa, asuransi umum, dan asuransi kredit. Langkah ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan risiko serta memperkuat keberlanjutan perusahaan-perusahaan yang terlibat.
Adanya wacana merger ini mengisyaratkan bahwa pemerintah berupaya mengatasi masalah struktural di sektor asuransi, sekaligus menjadi penanda penting dalam meningkatkan kepercayaan di pasar. Namun, keberhasilan merger ini sangat tergantung pada pelaksanaan yang cermat serta responsif terhadap masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
Untuk tahu lebih lanjut tentang perkembangan merger ini, masyarakat diajak untuk mengikuti informasi dari OJK dan instansi terkait, agar dapat memahami langkah-langkah strategis yang diambil. Dengan perhatian yang tepat, merger ini diharapkan dapat menghasilkan sistem asuransi yang lebih sehat dan berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan.





