Carut Marut Penyelenggaraan Haji RI: Kuota dan Transparansi Dana Perlu Diperbaiki

Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia belakangan ini menghadapi berbagai tantangan serius. Keterbatasan kuota, transparansi dana, serta tata kelola yang buruk menjadi sorotan utama. Profesor Murniati Mukhlisin dari Center for Sharia Economic Development (CSED-INDEF) menegaskan bahwa masalah ini harus segera ditangani agar tidak berlarut-larut.

Kuota haji Indonesia, yang sangat penting bagi jutaan umat Muslim, dapat berkurang jika pemerintah tidak segera berbenah. Murniati menyatakan, “Penyelenggaraan ibadah haji tahun depan tidak bisa lagi dianggap sepele.” Kegagalan pemerintah dalam negosiasi, seperti pembatalan kuota haji Furoda, menunjukkan kurangnya kemampuan dalam mengurus masalah ini. Dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Haji yang baru, diharapkan kemampuan negosiasi pemerintah dalam hal haji dan umrah dapat meningkat.

Transparansi dana haji juga menjadi isu krusial. Dalam laporan, dikatakan bahwa dana haji diperkirakan mencapai Rp188,86 triliun pada 2025. Namun, dana ini bukan milik negara, melainkan milik umat Muslim yang mempercayakan pengelolaannya. Murniati menekankan bahwa keterbukaan informasi adalah pilar penting untuk membangun kepercayaan masyarakat. “Informasi yang diberikan hanya bersifat teknokratik dan sulit dipahami oleh masyarakat,” ujarnya.

Dalam pandangannya, dana haji memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan ekonomi umat. Namun, tantangan struktural masih menghambat optimalisasinya. “Investasi yang saat ini didominasi oleh sektor konservatif seperti deposito syariah perlu diubah,” kata Murniati. CSED-INDEF merekomendasikan agar pemerintah mengalihkan investasi dana haji ke sektor riil, termasuk real estat halal, rumah sakit syariah, dan energi bersih.

Tumpang tindih peran antara Kementerian Agama, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan operator haji juga menjadi masalah serius yang harus diatasi. Ketidakjelasan roadmap nasional haji dan umrah hingga 2045 mengakibatkan pengelolaan dana dan pelayanan menjadi tidak terintegrasi. Murniati menyarankan pembentukan lembaga setingkat kementerian untuk mengintegrasikan kebijakan regulasi, pelayanan, dan pengelolaan dana haji.

Dari sisi pendanaan, defisit pembiayaan operasional haji yang mencapai Rp7,5 triliun pada tahun 2024 menandakan perlunya langkah kongkret untuk mengelola dana secara lebih efisien. Menurut Murniati, diharapkan lembaga yang baru dibentuk dapat memberikan arah yang jelas dan terencana untuk masa depan penyelenggaraan haji di Indonesia.

Transparansi dan pengelolaan yang baik bukan hanya penting untuk kepercayaan publik, tetapi juga untuk mendukung sekitar 4,2 juta pekerja yang bergantung pada sektor haji dan umrah. Jika hal-hal ini tidak segera ditangani, masa depan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia bisa terancam.

Melalui langkah-langkah strategis dan reformasi yang tepat, harapan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji dapat tercapai. Murniati menekankan pentingnya kemauan politik dan kolaborasi antarlembaga agar proses penyelenggaraan haji lebih baik di masa mendatang. Dengan demikian, umat Muslim di Indonesia bisa merasakan ibadah haji yang tidak hanya lancar tetapi juga bermakna.

Berita Terkait

Back to top button