Penurunan BI Rate: Tak Selalu Dorong Pertumbuhan Kredit yang Signifikan

Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5% dari sebelumnya 5,25% tidak serta merta akan meningkatkan pertumbuhan kredit di Indonesia. Meskipun langkah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, sejumlah ekonom berpendapat bahwa tantangan yang ada lebih kompleks daripada sekadar penurunan suku bunga.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menegaskan bahwa meskipun BI telah menurunkan suku bunga acuan beberapa kali, pertumbuhan kredit masih stagnan di sekitar angka 7 persen. "Artinya, selain masalah suku bunga yang relatif tinggi, ada masalah lain di pasar, seperti daya beli masyarakat yang menurun," ujarnya. Masalah ini menjadi perhatian utama, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Kondisi ekonomi yang lesu dan lemahnya permintaan dari konsumen membuat perusahaan enggan untuk berekspansi, meskipun ada insentif dari penurunan suku bunga. Ini tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang masih berada di zona non-ekspansi, menunjukkan penurunan kegiatan produksi. Nailul menambahkan, "Akibatnya, perusahaan tidak mau mengambil risiko untuk investasi baru ketika pasar menunjukkan tanda-tanda pelemahan."

Kebijakan Suku Bunga dan Reaksi Pasar

Langkah BI menurunkan suku bunga acuan di saat The Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat menjaga tingkat suku bunga tetap dapat memunculkan ketidakpastian bagi pelaku pasar. Nailul mengatakan bahwa kebijakan BI tidak sepenuhnya mencerminkan langkah-langkah yang diambil oleh The Fed, yang terus menahan suku bunganya. "Bisa jadi, untuk pertama kalinya, the Fed rate akan sebanding dengan BI rate jika BI terus agresif menurunkan suku bunganya," tambahnya.

Namun, penurunan suku bunga acuan juga dapat memiliki implikasi lebih luas terhadap nilai tukar rupiah. Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, langkah BI untuk mereduksi suku bunga acuan khawatir akan menambah tekanan terhadap rupiah. Nailul menjelaskan bahwa penurunan BI rate berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah di masa depan, yang dapat berdampak pada cadangan devisa Indonesia.

Dampak Terhadap Cadangan Devisa

Rupiah telah menghadapi berbagai tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Penurunan suku bunga acuan bisa memperburuk situasi ini, yang pada gilirannya akan menghabiskan cadangan devisa BI. "Biaya pemulihan nilai tukar ini tidak sedikit, bahkan cenderung mahal. Cadangan devisa negara berpotensi tergerus," ujar Nailul. Kendati penurunan suku bunga dapat memberikan stimulus bagi beberapa sektor, dampak negatif pada stabilitas mata uang harus menjadi perhatian utama bagi kebijakan moneter.

Perspektif Ekonom Lainnya

Beberapa ekonom lain juga menggarisbawahi perlunya intervensi kebijakan yang lebih komprehensif untuk mendorong pertumbuhan kredit dan ekonomi secara keseluruhan. Mereka berpendapat bahwa meskipun penurunan suku bunga dapat membantu, faktor struktural dan kondisi pasar yang lesu harus diperbaiki agar kredit benar-benar meningkat. Ini termasuk peningkatan daya beli masyarakat, investasi perusahaan, dan penciptaan lapangan kerja.

Dengan situasi tersebut, tidak cukup hanya mengandalkan penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dan BI perlu bersama-sama merumuskan strategi yang lebih holistik agar dapat efektiv menstimulasi perekonomian, terutama dalam sektor kredit.

Melihat kondisi ini, harapan untuk pertumbuhan yang lebih berkelanjutan mungkin harus ditempatkan pada inisiatif yang lebih luas, tidak hanya sekadar memperhatikan perubahan suku bunga. Kebijakan publik yang mendukung daya beli masyarakat dan peningkatan lapangan kerja akan sangat menentukan bagaimana respons sektor kredit di Indonesia ke depannya.

Berita Terkait

Back to top button