Upaya pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak di Indonesia menghadapi sejumlah hambatan serius. Menurut Danny Darussalam Tax Center (DDTC), terdapat lima titik kebocoran yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak negara. Salah satunya adalah adanya shadow economy—kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dan beroperasi di luar pengawasan pemerintah. Situasi ini menyulitkan otoritas pajak dalam memungut pajak secara efektif.
Kebocoran dari Shadow Economy
Kebocoran yang berasal dari shadow economy di Indonesia diperkirakan mencapai 23,8% dari produk domestik bruto (PDB). Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kebocoran pajak terendah kedua setelah India, yang mencatat 26,1% kebocoran. Hal ini jelas menjadi tantangan besar bagi pemerintah. "Tugas pemerintah adalah memungut pajak dari kegiatan ilegal tanpa melegalkan praktik yang sudah jelas-jelas ilegal," ungkap Managing Partner DDTC, Darussalam, baru-baru ini.
Offshore Tax Evasion
Kebocoran berikutnya disebabkan oleh offshore tax evasion, di mana wajib pajak menyimpan aset di negara-negara yang menawarkan pajak rendah atau bebas pajak, sering disebut tax haven. Darussalam menambahkan bahwa sekitar 20% dari aset yang disimpan di tax haven tidak terdeteksi oleh otoritas pajak. Ini menjadi pertanda bahwa banyak potensi pajak yang hilang akibat kurangnya pengawasan.
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
Praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) juga menjadi salah satu faktor penyebab kebocoran. Perusahaan multinasional melakukan pengalihan laba melalui skema transfer pricing dan bunga pinjaman berlebihan. Menurut estimasi DDTC, Indonesia berpotensi kehilangan antara Rp 23 triliun hingga Rp 28,6 triliun dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) karena penggerusan basis pajak ini.
Kompetisi Perpajakan Antarnegara
Kebocoran keempat berkaitan dengan kompetisi perpajakan antarnegara. Negara sering kali memberikan insentif pajak dan menurunkan tarif pajak untuk menarik investasi. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, belanja perpajakan Indonesia diperkirakan mencapai Rp 530,3 triliun. Darussalam menekankan pentingnya masyarakat untuk memahami dan merasakan manfaat dari belanja perpajakan ini agar tidak terjadi kebocoran lebih lanjut.
Beban Pajak yang Tidak Dilaporkan
Kebocoran terakhir mencakup pajak yang tidak dilaporkan atau dibayarkan, yang banyak disebabkan oleh ketidakpatuhan, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum. Sistem perpajakan yang tidak berjalan dengan baik di Indonesia menjadi permasalahan yang harus ditangani secara serius. "Ini adalah tanggung jawab bersama untuk menyelesaikannya," tegas Darussalam.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada semester pertama tahun 2025 mencapai Rp 831,26 triliun, yang mencerminkan 38% dari target APBN untuk tahun tersebut. Sayangnya, angka ini menunjukkan kontraksi sebesar 7% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Dengan data dan fakta ini, jelas bahwa pemerintah harus mengatasi kebocoran penerimaan pajak secara komprehensif. Implementasi kebijakan yang lebih ketat dan transparansi dalam sistem perpajakan menjadi sangat penting untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mengurangi potensi kebocoran yang merugikan ekonomi negara.





