Sengketa Dagang AS vs India: Siapa yang Paling Dirugikan dalam Konflik Ini?

Ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan India telah mencapai puncaknya, di mana AS mengenakan tarif sebesar 50% terhadap sebagian besar produk India yang masuk ke pasarnya. Tarik ulur ini muncul setelah upaya negosiasi yang gagal dan memberikan dampak yang signifikan bagi kedua negara, terutama India, yang menghadapi potensi penurunan tajam dalam nilai ekspor ke AS.

Sejak pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden dan sebelumnya Donald Trump, hubungan kedua negara yang sebelumnya dianggap krusial dalam konteks keamanan dan stabilitas regional kini terancam. Pada Juni 2023, pertemuan ceria antara Biden dan Perdana Menteri India Narendra Modi seolah menandakan harapan baik, namun situasi berbalik dalam waktu singkat. Pertengahan Agustus lalu, pemerintah AS mengumumkan tarif yang memberikan beban berat bagi India, di mana nilai ekspor India ke AS diperkirakan bisa anjlok hingga 40% dalam waktu dekat, yang berpotensi merugikan ekonomi India secara keseluruhan.

Menurut Rick Rossow, seorang ahli ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), pemerintah AS secara langsung menghadapi kerugian, meskipun tidak sebanding dengan India. “Ekspor AS ke India pada 2024 hanya akan mencapai sekitar USD42 miliar. Ini kurang dari separuh nilai ekspor India ke AS,” ujarnya. Dengan situasi ini, India tidak hanya mengalami kerugian finansial, tetapi negara tersebut juga menghadapi tantangan dalam mencapai agenda ‘Make in India’ yang dicanangkan Modi.

Penetapan tarif ini juga berakar dari kebijakan proteksionisme yang dikhawatirkan akan menghancurkan citra politik Modi di dalam negeri. Indikator dari kebangkitan ketegangan ini berawal dari pengumuman Trump mengenai tarif tambahan 25% yang menyangkut pembelian minyak dari Rusia, yang berimbas pada hubungan dagang AS dan India.

Dari perspektif geopolitik, risiko besar bagi AS adalah munculnya China sebagai kekuatan dominan di Asia. Sushant Singh, seorang akademisi di Yale University, mengingatkan bahwa dalam situasi ini, India berpotensi mengambil peran yang lebih rendah, dan bisa memperkuat aliansi dengan China, yang tentunya akan merugikan kepentingan AS.

Meskipun ketegangan ini tampak mengkhawatirkan, ada ruang untuk perbaikan dalam hubungan dagang kedua negara. Singh menjelaskan bahwa India masih menginginkan kesepakatan, berupaya memberi kemenangan kepada Trump dalam negosiasi. Hal ini tidak hanya penting bagi kedua negara, tetapi juga untuk stabilitas regional yang lebih luas. Menurut Rossow, mengingat besarnya potensi pertumbuhan ekonomi India, mencapai kesepakatan dagang akan menjadi keuntungan bersama.

Selain dampak ekonomi, penurunan jumlah mahasiswa India yang belajar di universitas-AS juga merupakan dampak signifikan dari ketegangan ini. Gary Hufbauer, pakar perdagangan internasional, mengungkapkan bahwa harapan untuk menjadikan India sebagai alternatif lokasi produksi bagi banyak produk buatan China kini terlihat suram.

Dalam konteks ini, penting bagi kedua negara untuk menegosiasikan ulang kesepakatan dagang dan menemukan jalan keluar dari situasi sulit ini. Dengan perhatian yang sama pada kekhawatiran mengenai kebangkitan China, kedua negara seharusnya menyadari bahwa kerjasama yang erat dalam bidang ekonomi dan keamanan adalah langkah yang bijaksana untuk masa depan mereka.

Berita Terkait

Back to top button