Waspada! Modus Penipuan Transfer Berbasis AI Kian Marak di Masyarakat

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap maraknya modus penipuan yang memanfaatkan teknologi, khususnya melalui pemalsuan bukti transfer menggunakan artificial intelligence (AI). Modus yang semakin canggih ini sudah banyak digunakan oleh penipu untuk menggoda korban agar mentransfer uang dengan mengandalkan kepercayaan yang dibangun melalui identitas palsu.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, menyebutkan berbagai modus yang kian marak terjadi. Salah satu metode yang perlu diperhatikan adalah penipuan melalui impersonation, yaitu meniru atau menduplikasi identitas lembaga keuangan yang resmi. Metode ini sering kali disertai dengan penawaran investasi bodong, seperti perdagangan aset kripto atau robot trading yang mengklaim menggunakan AI.

Modus penipuan terbaru, menurut Friderica, adalah pemalsuan bukti transfer menggunakan teknologi AI. “Masyarakat harus berhati-hati, karena penipu kini semakin ahli dalam menyajikan bukti transfer yang tampak asli,” ungkapnya. Penipuan ini tidak hanya sekadar merugikan secara finansial, tetapi juga berkaitan dengan data pribadi masyarakat, yang sering kali dicuri melalui teknik social engineering.

Salah satu contoh kasus yang menunjukkan tingginya risiko ini adalah penagihan utang yang dilakukan dengan ancaman penyebaran foto yang telah diedit menggunakan AI. Selain itu, data pribadi juga disalahgunakan untuk membuka rekening baru tanpa sepengetahuan pemiliknya. Hal ini menambah panjang daftar modus penipuan yang menggunakan teknologi modern sebagai alat mereka.

Dalam satu bulan terakhir, OJK melaporkan ada tiga aduan spesifik terkait dengan penggunaan AI dalam penipuan. Data terbaru menunjukkan bahwa pada akhir Agustus 2025, OJK melalui Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) telah menerima total 238.552 laporan. Dari jumlah itu, 145.862 laporan berasal dari korban yang menghubungi Pelaku Usaha Sektor Keuangan, seperti bank dan penyedia sistem pembayaran. Sedangkan 92.690 laporan dilaporkan langsung ke IASC.

Hingga kini, total rekening yang dilaporkan mencapai 381.507 rekening. Dari angka tersebut, sebanyak 76.541 rekening telah diblokir sebagai upaya pencegahan lebih lanjut. Jumlah kerugian yang dilaporkan akibat penipuan ini mencapai Rp4,8 triliun. Dari total kerugian, dana sekitar Rp350,3 miliar telah berhasil diblokir oleh OJK, memberikan sedikit kelegaan bagi korban.

Dalam konteks ini, Friderica mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada, terutama ketika diminta memberikan informasi pribadi seperti PIN dan OTP. Para penipu sering berpura-pura menjadi customer service lembaga keuangan, agen perjalanan, atau bahkan lembaga pemerintah untuk mendapatkan informasi tersebut. “Pelaku sering meminta informasi dengan cara yang meyakinkan, sehingga masyarakat secara sukarela memberikan data yang seharusnya dirahasiakan,” katanya.

Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa keamanan digital adalah tanggung jawab bersama. Melindungi diri dari penipuan berbasis teknologi termasuk dalam literasi keuangan yang harus dimiliki oleh setiap individu. OJK berkomitmen untuk meningkatkan edukasi dan perlindungan konsumen agar masyarakat lebih paham dan waspada terhadap risiko yang ada.

Dengan meningkatnya penggunaan teknologi AI di berbagai aspek kehidupan, baik sebagai alat maupun ancaman, masyarakat diharapkan dapat lebih memahami cara melindungi diri. Kesadaran akan modus-modus penipuan ini akan membantu masyarakat untuk lebih berhati-hati dan menghindari kerugian yang tidak perlu. OJK pun terus berupaya memblokir rekening-rekening yang terlibat dalam penipuan, sebagai langkah preventif untuk melindungi masyarakat dari kasus-kasus serupa di kemudian hari.

Berita Terkait

Back to top button