Ekonom senior Didik J Rachbini memperingatkan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk lebih hati-hati dalam berbicara di depan publik. Dalam sebuah diskusi daring, Didik menilai gaya komunikasi Purbaya yang sering ceplas-ceplos bisa membawa dampak negatif, mengingat posisinya sebagai pejabat penting negara. Menurut Didik, meskipun Purbaya memiliki kapabilitas akademik yang baik, cara penyampaian yang terlalu lugas tidak selalu tepat dalam konteks kementerian keuangan.
“Orangnya ceplas-ceplos, tetapi sebenarnya punya muatan akademik. Sebagai menteri keuangan, yang dibutuhkan adalah teknostatement,” kata Didik. Pernyataan ini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa komunikasi yang tidak terukur dapat memengaruhi persepsi publik dan stabilitas ekonomi.
Salah satu momen yang menyebabkan reaksi publik adalah ketika Purbaya membahas isu “17+8”. Dalam tanggapannya, dia menyebut bahwa tuntutan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat. Didik menilai pernyataan itu tidak mencerminkan kenyataan, terutama mengingat kondisi kelas menengah yang kini sedang tertekan. Data terakhir menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah dari 57 juta menjadi 48 juta orang, yang selama ini berfungsi sebagai motor penggerak ekonomi domestik.
“Sebagai politikus sekaligus negarawan, ia harus mengerti situasi. Merespons isu 17+8 tidak boleh sembarangan,” tegas Didik. Menurutnya, pernyataan yang kurang peka terhadap situasi sosial ekonomi dapat mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini.
Purbaya, yang baru dilantik sebagai Menkeu pada 9 September 2025, memang berkomitmen untuk menjadi lebih hati-hati dalam gaya komunikasi yang diterapkannya. Dalam berbagai kesempatan, ia mengakui pentingnya memilih kata-kata dengan bijaksana agar tidak salah dipahami oleh masyarakat. “Saya akan lebih memperhatikan komunikasi ke depan, terutama dalam situasi yang sensitif,” ujarnya.
Rasa hati-hati ini juga sejalan dengan pernyataan ahli ekonomi lainnya, yang menekankan pentingnya komunikasi pemerintah yang transparan dan akurat. Hal ini penting tidak hanya untuk menjaga stabilitas pasar, tetapi juga untuk membangun kepercayaan publik terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan.
Selain masalah komunikasi, terdapat juga tantangan lain yang dihadapi Purbaya sebagai Menkeu di era yang penuh ketidakpastian ini. Perlu upaya lebih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif sambil memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap pro-rakyat. Dalam konteks ini, Purbaya memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya efisien tetapi juga merespons kebutuhan masyarakat yang beragam.
Sebagaimana disampaikan oleh Didik, kelas menengah adalah komponen vital dalam pertumbuhan ekonomi. Pengurangan jumlah mereka dapat berkonsekuensi besar bagi daya beli dan konsumsi domestik. Maka dari itu, komunikasi yang efektif dan responsif dari Menkeu akan sangat penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi pemulihan ekonomi.
Ke depan, Purbaya diharapkan mampu belajar dari berbagai masukan dan kritik, serta beradaptasi dengan situasi yang ada. Mengingat posisi strategisnya, setiap ucapan dan tindakan akan diperhatikan secara seksama oleh publik dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan panduan dari para ekonom dan stakeholder, harapannya Purbaya dapat memberikan kontribusi positif untuk ekonomi Indonesia tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat luas.





