
Kebijakan pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang baru-baru ini diambil untuk menegakkan denda terhadap pelaku usaha perkebunan sawit ilegal menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Prof. Dr. Sudarsono Soedomo, Guru Besar Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan kebijakan ini berpotensi menimbulkan konflik hukum baru. Dalam tanggapannya terhadap revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021, ia mengungkapkan keraguan terhadap aspek hukum dan kejelasan status kawasan hutan yang menjadi dasar penegakan kebijakan ini.
Sudarsono menegaskan bahwa permasalahan utama bukan hanya pada status kebun sawit yang dianggap ilegal, tetapi lebih pada keabsahan status kawasan hutan itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa sebagian besar wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan belum melalui prosedur resmi yang diatur oleh Undang-Undang No. 41/1999, yang mencakup penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Penegakan denda tanpa adanya kepastian hukum yang jelas berpotensi menciptakan ketidakpastian dan konflik antara masyarakat dan pemerintah.
Ketua Pelaksana Satgas PKH, Febrie Adriansyah, menyatakan bahwa meskipun lahan telah disita, para pengusaha tetap dituntut untuk membayar denda administratif. Dalam delapan bulan terakhir, Satgas PKH mengklaim telah berhasil menertibkan lebih dari 3,3 juta hektar lahan yang dikuasai secara ilegal. Namun, Sudarsono mempertanyakan efisiensi langkah ini. Menurutnya, revisi PP yang baru tidak menjamin iklim investasi yang lebih baik. Jika definisi kawasan hutan masih keliru, maka kepastian hukum bagi investor akan tetap kabur.
Sudarsono juga mengungkapkan fakta bahwa banyak lahan yang kini diklaim sebagai kawasan hutan telah digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan, seperti kebun karet dan pemukiman, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu, ia berargumen bahwa klaim ilegal hanya berlaku pada kawasan hutan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 34/2011, yang menyatakan bahwa klaim kawasan hutan tidak bisa mengesampingkan hak masyarakat atas tanah yang sudah mereka kelola selama bertahun-tahun.
Dalam konteks ini, petani plasma atau masyarakat kecil yang menggantungkan hidup mereka pada perkebunan sawit di lahan yang dikategorikan ilegal juga menjadi perhatian. Sudarsono menyarankan adanya pendekatan yang lebih adil dan mempertimbangkan kontribusi nyata dari petani terhadap ekonomi. Ia mencatat bahwa pemilik lahan sawit mampu menyewa lahan dengan tarif tinggi dibandingkan dengan hutan tanaman industri, menunjukkan potensi yang lebih besar untuk memakmurkan rakyat.
Di satu sisi, langkah Satgas PKH untuk menegakkan denda administrasi disebut Sudarsono tidak menjawab akar permasalahan yang lebih mendalam, yakni masalah legalitas sebagian besar kawasan hutan. Selama proses penetapan batas wilayah tidak dilakukan dengan benar, ketidakpastian mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah akan terus menghambat investasi dan pembangunan.
Sudarsono mengingatkan pemerintah untuk lebih transparan dalam penetapan batas wilayah hutan. Ia menyatakan bahwa banyak otoritas kehutanan tidak dapat menunjukkan dengan jelas batas-batas kawasan tersebut, yang semakin menambah kompleksitas legalitas lahan. Dalam kondisi ini, risiko munculnya konflik hukum tidak hanya akan melibatkan korporasi, tetapi juga masyarakat kecil yang lahan mereka terperangkap dalam klaim yang meragukan.
Dengan situasi yang semakin kompleks, Sudarsono berharap Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan permasalahan status kawasan hutan. Masyarakat telah lama menunggu kejelasan dan perlindungan atas hak-hak mereka atas lahan. Harapannya adalah agar langkah-langkah yang lebih adil dapat diambil demi kepentingan rakyat kecil, yang selama ini menjadi untung rugi dari kebijakan yang diambil.
Selain itu, penting untuk memperhatikan kebijakan pertanahan yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga mengedepankan kepentingan masyarakat yang lebih luas dalam rangka menciptakan kestabilan dan kesejahteraan.





