DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK), yang memberikan otoritas baru kepada DPR untuk melakukan evaluasi terhadap beberapa pejabat penting dalam sistem keuangan Indonesia. Hal ini tertuang dalam Pasal 9A dari draf revisi tersebut, yang mengizinkan DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS), Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK), dan Gubernur Bank Indonesia.
Menurut draf tersebut, hasil evaluasi DPR akan bersifat mengikat dan akan disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti. Ini menunjukkan adanya upaya untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga-lembaga penting dalam sektor keuangan negara. Dengan penambahan pasal ini, DPR diharapkan dapat memperkuat fungsi pengawasan, yang selama ini dianggap penting dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Ketua DK OJK, Mahendra Siregar, merespons perkembangan ini dengan hati-hati. Saat ditemui di Kompleks Parlemen pada 17 September 2025, ia menyatakan bahwa dirinya belum sempat membaca secara tuntas draf RUU P2SK yang tengah dibahas oleh DPR. “Saya lebih baik baca dulu deh daripada komentar ya,” kata Mahendra, yang menunjukkan kesadaran akan pentingnya memahami konteks sebelum berkomentar.
Lebih lanjut, Mahendra menekankan bahwa evaluasi tersebut bisa menjadi instrumen yang signifikan, tergantung pada bagaimana implementasinya dilakukan. Ia mengatakan, “Mungkin nanti pada saat ada pembahasan mengenai hal itu, kami bisa melihat lebih persisnya seperti apa dan apa yang dimaksudkan dengan pasal-pasal tadi ya.” Hal ini menunjukkan bahwa pihak OJK menghargai diskusi terbuka mengenai undang-undang yang akan memengaruhi tata kelola lembaga keuangan.
Penambahan kewenangan bagi DPR dalam RUU P2SK ini memunculkan pertanyaan tentang keseimbangan kekuasaan antara DPR dan lembaga-lembaga independen di bidang keuangan. Sementara DPR berhak untuk melakukan evaluasi, satu hal yang perlu dicermati adalah bagaimana evaluasi ini akan dilaksanakan agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip independensi lembaga-lembaga tersebut.
DPR diharapkan dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme evaluasi yang akan diterapkan. Misalnya, apakah terlihat ada penilaian kinerja berbasis kriteria objektif, dan bagaimana hasil evaluasi tersebut akan memengaruhi posisi komisioner maupun gubernur. Hal ini penting, terutama untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap lembaga-lembaga keuangan di Indonesia.
Selain itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana ruang lingkup evaluasi tersebut akan ditentukan. Apakah hanya berdasarkan kinerja keuangan, atau juga mencakup aspek manajemen dan strategi kebijakan? Kedua, penting untuk menentukan jadwal evaluasi, mengingat evaluasi yang terlalu sering mungkin akan mengganggu kinerja lembaga-lembaga tersebut.
Keberadaan RUU P2SK ini diharapkan dapat membawa banyak perubahan positif bagi sektor keuangan di Indonesia. Masyarakat pun menyambut baik adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga-lembaga serta individu yang memiliki peran penting dalam pengelolaan sektor keuangan.
Dalam konteks ini, reformasi kelembagaan melalui perundang-undangan yang lebih kuat memang sangat diperlukan. Pembahasan dan penetapan RUU ini bisa menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, yang pada gilirannya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Berbagai pihak, termasuk regulator dan pemangku kepentingan lain, diharapkan dapat memberikan masukan konstruktif agar RUU P2SK dapat menghasilkan kerangka kerja yang lebih efektif untuk pengawasan dan pengembangan sektor keuangan Indonesia.





