Guru Besar UGM Usulkan Paradigma Pembangunan Transkonstruktif Hadapi Ketidakpastian Sosial

Pusaran ketidakpastian sosial yang melanda saat ini mengharuskan kita untuk merenungkan kembali makna kesejahteraan dan pembangunan. Dalam konteks ini, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, M.Si, memperkenalkan paradigma pembangunan yang disebut transkonstruktif. Konsep ini menjadi tawaran penting untuk merespons berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat pada tingkat global, nasional, dan lokal.

Dalam sebuah pidato kunci bertema “Merefleksikan Ulang Masyarakat dalam Pusaran Ketidakpastian Sosial” pada acara Dies Natalis ke-70 Fisipol UGM, Damanik menjelaskan bahwa ketidakpastian merupakan kenyataan yang dapat diamati di tiga level. Di tingkat global, tantangan yang dihadapi termasuk perubahan iklim, konflik regional, dan gejolak politik internasional. Pada level nasional, isu ketidakstabilan politik dan ekonomi menjadi sumber keresahan bagi masyarakat. Sementara itu, di tingkat lokal, masyarakat berjuang menghadapi kesulitan ekonomi dan kerentanan terhadap bencana.

Damanik menyatakan perlunya merefleksikan makna kesejahteraan dari perspektif yang lebih luas. “Kesejahteraan tidak dapat diukur hanya dari pendapatan, tetapi dari kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang bermakna,” ujarnya. Paradigma transkonstruksi yang dikemukakannya bertujuan untuk melampaui batasan teori-teori dominan yang umumnya diadopsi, khususnya dari tradisi Barat.

Secara kritis, Damanik mengingatkan bahwa wacana akademik sering kali terjebak dalam teori-teori besar yang tidak mempertimbangkan pengalaman sosial lokal. Paradigma transkonstruksi mendorong upaya untuk memperbarui pemahaman akademik dengan merujuk pada pengalaman empiris masyarakat. Di sini, masyarakat dipahami sebagai entitas yang tidak hanya dibayangkan, tetapi juga diwujudkan melalui interaksi dan perjuangan sehari-hari.

Keberadaan masyarakat dalam konteks transkonstruksi ditandai oleh pengalaman hidup yang nyata dan perjuangan bersama. Damanik menyampaikan bahwa ini adalah upaya untuk tidak hanya bersikap teoritis, tetapi juga mengaplikasikan kerangka komunikasi yang realistis. Hal ini menuntut penciptaan ruang dialog yang inklusif, meskipun tidak sempurna, sehingga setiap individu bisa berkontribusi.

Lebih lanjut, Damanik menyatakan bahwa pembangunan transkonstruktif harus melampaui paradigma top-down maupun bottom-up. Ia menekankan pentingnya gotong royong epistemik, di mana semua aktor berkolaborasi untuk menentukan arah pembangunan yang strategis dan berkelanjutan. “Strategis berarti fokus pada langkah-langkah yang saling memahami, sedangkan mendalam mencakup aspek-aspek holistik yang menempatkan keberlanjutan sebagai tujuan utama,” jelasnya.

Kerangka kerja transkonstruksi ini juga menyiratkan bahwa pembangunan harus menghormati dan mengakui eksistensi serta perjuangan masyarakat. Dalam konteks ini, pembangunan tidak hanya merupakan upaya teknis, tetapi juga merupakan gerakan reflektif untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek aktif dalam proses pembangunan.

Melalui paradigma transkonstruktif, Damanik berupaya memberikan pandangan bahwa masyarakat harus diakui sebagai subjek yang terlibat dalam proses pembangunan. Ia menekankan pada pentingnya menjalin teori dan pengalaman, serta penekanan pada kolektivitas sebagai fondasi untuk menghadapi ketidakpastian zaman yang ada.

Transkonstruksi membawa makna baru bagi pemahaman sosial dan pembangunan di Indonesia, di mana masyarakat dilibatkan secara aktif dalam menggambarkan kehidupan mereka sendiri. Oleh karena itu, pemikiran ini memiliki potensi untuk memberikan arah baru dalam menghadapi tantangan sosial yang kian kompleks.

Berita Terkait

Back to top button