Asuransi untuk melindungi aset publik dari bencana alam akan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2026. Inisiatif ini sejalan dengan meningkatnya frekuensi bencana yang terjadi di Tanah Air. Hingga akhir Agustus 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 2.322 kejadian bencana, dengan lebih dari 350 orang kehilangan nyawa atau hilang akibat bencana tersebut.
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) sedang dalam tahap penyusunan asuransi parametrik kebencanaan, yang bertujuan untuk menciptakan mekanisme penanganan yang lebih efisien bagi pemerintah daerah (Pemda) yang sering kali menjadi korban. Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menekankan pentingnya adanya metodologi, regulasi, dan data pendukung untuk memastikan kesiapan pelaksanaan asuransi ini.
Asuransi parametrik memiliki karakteristik yang berbeda dengan asuransi tradisional. Dalam sistem ini, pembayaran klaim tidak berdasarkan penilaian kerugian yang rinci, tetapi berdasarkan parameter tertentu, seperti curah hujan atau magnitudo gempa bumi. Diharapkan, skema ini dapat memungkinkan pencairan klaim dalam waktu yang singkat, yaitu antara tujuh hingga empat belas hari. Inovasi ini dianggap positif untuk pemulihan cepat pascabencana dan memastikan layanan publik tetap berjalan.
Direktur Utama PT Asuransi Candi Utama menjelaskan bahwa tingginya angka kejadian bencana menjadi motivasi utama dalam merancang asuransi ini. Asuransi parametrik memungkinkan Pemda untuk segera mendapatkan dana pemulihan, sehingga tidak ada gangguan dalam layanan publik akibat bencana. “Dengan menggunakan model ini, dana dapat segera cair agar Pemda dapat melakukan tindakan segera dalam situasi darurat,” ujarnya.
Meskipun sistem ini menjanjikan kecepatan dalam pencairan klaim, Budi Herawan mengingatkan bahwa ada kelemahan terkait perhitungan klaim. Pembayaran yang dilakukan tidak selalu mencerminkan kerugian yang sebenarnya, mengingat prosesnya berbasis parameter. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembiayaan risiko lain untuk melengkapi sistem asuransi ini.
Saat ini, fokus utama asuransi parametrik kebencanaan adalah pada dua jenis risiko, yaitu bencana yang diakibatkan oleh hujan dan gempa bumi. Kepala Departemen Industry Research Indonesia Re, Fiza Wira Atmaja, mengungkapkan perlunya menciptakan sistem yang efektif untuk pencairan klaim, yang akan menjadi sumber dana di masa tanggap darurat. “Kami tidak hanya berorientasi pada peningkatan manfaat, tetapi lebih kepada kecepatan mendapatkan dana saat dibutuhkan,” tambahnya.
Proyek ini melibatkan kerjasama erat antara pemerintah, perusahaan asuransi, dan asosiasi terkait. Diskusi intensif antara berbagai pihak telah berlangsung untuk merumuskan rincian teknis yang diperlukan bagi implementasi asuransi ini. Meskipun implementasi penuh belum dimulai, sinyal positif untuk uji coba telah terlihat.
Bencana alam memiliki dampak yang sangat besar bagi masyarakat, terutama bagi daerah yang rawan terdampak. Dengan adanya asuransi ini, diharapkan akan memberikan perlindungan lebih bagi aset publik dan mendukung upaya pemulihan setelah bencana. Kesiapan pemerintah dan lembaga asuransi untuk menjalankan inisiatif ini menjadi kunci keberhasilannya.
Para ahli sepakat bahwa langkah ini krusial untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mempercepat respon terhadap bencana. Asuransi parametrik kebencanaan akan menjadi alat penting dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, memberikan harapan baru bagi masyarakat yang sering kali terjebak dalam situasi sulit setelah bencana terjadi.





