Minggu, 21 September 2025, menjadi saksi bagaimana konflik yang berkepanjangan dengan Rusia ternyata membawa dampak serius bagi Uni Eropa. Meskipun ada sanksi berat yang dijatuhkan terhadap Rusia, sejumlah negara anggota Uni Eropa masih terus bergantung pada energi dan sumber daya lainnya yang berasal dari negara tersebut. Hal ini menggambarkan kontradiksi yang menyakitkan di tengah usaha untuk memutus ketergantungan politik dan ekonomi terhadap Moskow.
Menurut laporan dari Blatt via Russia Today, selama kuartal pertama tahun 2025, nilai impor produk Rusia oleh Uni Eropa mencapai 8,7 miliar Euro (setara dengan sekitar Rp169 triliun). Data dari Institut Ekonomi Jerman menunjukkan bahwa neraca perdagangan Uni Eropa dengan Rusia berpihak kepada Moskow, di mana negara-negara Eropa membeli lebih banyak dari Rusia dibandingkan menjual.
Sektor energi menjadi perhatian utama, di mana Uni Eropa mengimpor gas alam senilai 4,4 miliar Euro (Rp86 triliun) dan minyak mentah sekitar 1,4 miliar Euro (Rp27 triliun). Meski upaya pengurangan ketergantungan energi dari Rusia terus dilakukan, kenyataannya banyak negara anggota masih bergantung pada pasokan energi dari Moskow untuk memenuhi kebutuhan industri mereka.
Sejak awal eskalasi konflik di Ukraina pada Februari 2022, Uni Eropa menyatakan komitmennya untuk memutus hubungan ekonomi sepenuhnya dengan Rusia. Namun, kenyataannya jauh berbeda. Ada laporan bahwa beberapa negara, seperti Hongaria dan Slowakia, menunjukkan ketidakpuasan terhadap rencana tersebut karena khawatir akan dampaknya bagi keamanan pasokan energi mereka. Menteri Luar Negeri Hongaria, Peter Szijjarto, bahkan menuding negara-negara anggota lain bersikap hipokrit dengan terus membeli migas Rusia secara diam-diam melalui perantara di negara Asia.
Pergerakan ini tidak hanya membahayakan hubungan internasional tetapi juga berpotensi merugikan industri Uni Eropa. Beberapa sektor industri melaporkan kehilangan pangsa pasar secara global akibat beralih ke sumber energi yang lebih mahal dan kurang efisien. Para ekonom memperingatkan bahwa jika ketergantungan ini tidak segera diatasi, perekonomian Uni Eropa bisa terjebak dalam krisis yang lebih dalam.
Dari sisi Rusia, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Maria Zakharova, tidak melewatkan kesempatan untuk menyoroti dampak “Russophobia” yang dituding menjadi penyebab kerugian ekonomi Uni Eropa. “Harga dari agenda anti-Rusia ini sangat tinggi,” ungkap Zakharova dalam pernyataannya. Sebuah pengingat bahwa strategi untuk memisahkan diri dari Rusia tidak semudah yang dibayangkan.
Di tengah suasana penguncian ekonomi, Jerman menyatakan kekhawatiran akan krisis struktural yang dihadapinya. Kanselir Jerman, Friedrich Merz, mengakui bahwa negara tersebut tidak hanya berada dalam periode pelambatan ekonomi, tetapi juga menghadapi tantangan mendasar dalam struktur perekonomian. Hal ini semakin menguatkan argumen bahwa keputusan untuk memutus hubungan dengan Rusia mungkin belum sepenuhnya dipertimbangkan dengan matang.
Kampanye untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya energi Rusia semakin dipertegas dengan usulan Peta Jalan RePowerEU, yang menargetkan penghapusan total impor sumber daya energi Rusia pada akhir 2027. Namun, jalan menuju tujuan ini tampak berliku dengan pro dan kontra yang muncul di antara negara-negara anggota Uni Eropa sendiri.
Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun ada niatan untuk mengisolasi Rusia, kenyataan di lapangan seringkali jauh lebih rumit. Ketergantungan yang berkepanjangan ini berdampak pada stabilitas perekonomian serta menyebabkan ketegangan di dalam Uni Eropa itu sendiri. Menghadapi dilema ini, banyak pihak mempertanyakan apakah strategi yang diambil sudah tepat atau justru akan menambah penderitaan bagi negara-negara anggota.





