BI Akui Bunga Kredit Perbankan Lambat Turun, Minta Dukungan Pemerintah dan Pengusaha

Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa penurunan suku bunga kredit perbankan berjalan lambat, meskipun suku bunga acuan telah diturunkan sebanyak lima kali sepanjang tahun 2025, mencapai level 4,75 persen. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama keterlambatan ini adalah praktik special rate pada deposito, yang memberikan imbal hasil tinggi bagi para nasabah dengan saldo besar. Hal ini mengakibatkan total 25 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank terikat pada imbal hasil istimewa, yang pada gilirannya meningkatkan biaya dana bank.

Pengaruh dari praktik ini sangat signifikan, karena semakin banyak nasabah yang meminta imbal hasil tinggi, semakin berat beban biaya yang harus ditanggung oleh bank. Perry menekankan, “Kecenderungan ini semakin meningkat, sehingga suku bunga deposito atau cost of fund juga turut meningkat, yang memperlambat penurunan suku bunga kredit.” Dalam konteks ini, BI ingin mendorong kolaborasi antara pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mempercepat penurunan suku bunga kredit dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dalam rapat bersama Komisi XI pada 22 September 2025, Perry menjelaskan tiga langkah yang perlu diambil untuk mengatasi masalah ini. Langkah pertama adalah mengatasi praktik special rate yang diterapkan kepada deposan besar. Tindakan ini diharapkan bisa menciptakan kesetaraan dalam pengajuan suku bunga bagi semua nasabah.

Langkah kedua melibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah guna merangsang konsumsi dan investasi di sektor riil. Perry mencatat pentingnya kebijakan bisnis yang efektiv untuk mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat. “Kita memerlukan langkah bersama untuk memicu pertumbuhan kredit dan sektor riil,” katanya.

Ketiga, perlu ada upaya untuk memperkuat optimisme dalam prospek ekonomi baik di kalangan pebisnis maupun perbankan. Dengan menanamkan kepercayaan, baik pelaku usaha maupun bank akan lebih bersedia untuk melakukan investasi dan memberikan pinjaman.

DI tingkat makro, BI telah melakukan sejumlah tindakan ekspansif. Perry mengungkapkan bahwa sejak awal tahun, BI telah melaksanakan ekspansi moneter mencapai Rp 200,3 triliun. Selain itu, pembelian Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak Rp 217 triliun dan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) sekitar Rp 383,6 triliun juga telah dilakukan. Total ekspansi likuiditas yang dicapai mencapai sekitar Rp 800 triliun. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong perbankan dalam menurunkan suku bunga dan mengalirkan likuiditas ke sektor riil.

Perry juga menyampaikan pentingnya peran bank sentral dalam memastikan transmisi kebijakan yang efektif melalui dua jalur utama: pasar uang dan perbankan. “Harapannya, dengan langkah-langkah ini, perbankan akan menurunkan suku bunga dan tetap berkontribusi bagi pertumbuhan sektor riil,” ujarnya.

Dalam konteks saat ini, kolaborasi antara BI, pemerintah, dan dunia usaha sangat dibutuhkan. Dengan adanya sinergi yang kuat, diharapkan pertumbuhan kredit bisa lebih optimal dan, akhirnya, mendukung pemulihan ekonomi nasional yang terbilang lambat. Penurunan suku bunga kredit yang lebih cepat diharapkan tidak hanya mendongkrak pinjaman tetapi juga menciptakan iklim investasi yang lebih baik.

Pengamat ekonomi berpendapat bahwa bauran kebijakan yang harmonis sangat penting di tengah tantangan pertumbuhan yang ada. Tanpa kerja sama yang solid antara semua pihak, termasuk masyarakat, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mungkin tidak akan membuahkan hasil maksimal. Ke depannya, masyarakat dan pelaku bisnis diharapkan dapat merasakan manfaat nyata dari kebijakan yang diambil.

Berita Terkait

Back to top button