
Nilai tukar Rupiah kembali tertekan saat dibuka di level Rp16.726 per dolar Amerika Serikat (AS), melemah 0,25 persen dari penutupan hari sebelumnya. Kondisi ini semakin diperburuk dengan pernyataan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menolak rencana tax amnesty. Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, memperingatkan bahwa jika Rupiah melewati angka Rp16.800, maka kemungkinan besar pada bulan Oktober bisa jatuh hingga Rp17.000 per dolar AS.
Pelemahan ini menjadi perhatian serius di kalangan analis. Ibrahim menjelaskan, pagi ini Rupiah mengalami pelemahan sebesar 74 poin, dengan nilai tukar tercatat di Rp16.758. "Kondisi ini mengindikasikan kemungkinan besar bahwa rupiah dapat tembus Rp17.000 jika terus tertekan," ungkapnya pada siaran pers, Kamis (25/9/2025).
Faktor Penyebab Pelemahan
Ada beberapa faktor yang mendasari melemahnya Rupiah. Dari sisi eksternal, ketegangan geopolitik di Eropa kembali meningkat. Presiden AS, Donald Trump, menyampaikan peringatan keras kepada negara-negara Eropa untuk tidak membeli minyak dari Rusia dan mempertimbangkan sanksi baru. Retorika ini meningkatkan risiko geopolitik, terutama terkait dengan serangan pesawat nirawak Ukraina terhadap infrastruktur energi Rusia yang menyebabkan ketidakpastian di pasar dunia.
Di sisi internal, penolakan Purbaya terhadap tax amnesty menjadi penghambat besar. Ibrahim menilai, tax amnesty sebelumnya yang dilakukan pada era pemerintahan Jokowi menunjukkan dampak positif bagi pasar. Tiga kali tax amnesty di bawah Kementerian Keuangan Sri Mulyani mampu mengundang arus modal asing dan memperkuat nilai Rupiah.
Respons Pasar
Reaksi pasar terhadap penolakan Purbaya cukup negatif. Ibrahim menjelaskan bahwa kekhawatiran adanya potensi "kong kali kong" antara pengusaha membuat investor cemas. "Tax amnesty diharapkan menjadi alat untuk menarik kembali arus modal asing," tukasnya. Hal ini kontras dengan performa baik Rupiah saat tax amnesty sebelumnya.
Meskipun Bank Indonesia (BI) berusaha melakukan intervensi melalui pasar non-deliverable forward (NDF) dan domestic non-deliverable forward (DNDP), hasilnya kurang efektif dalam meredam spekulasi pasar internasional yang kuat. Ibrahim mengevaluasi intervensi BI saat ini sebagai "sia-sia" mengingat perlunya langkah strategis yang lebih terencana.
Outlook Ke Depan
Pada bulan depan, prospek Rupiah masih berkait erat dengan sentimen pasar internasional dan kebijakan fiskal domestik. Ketidakpastian global, ditambah dengan penolakan terhadap tax amnesty, membuat kondisi ekonomi Indonesia semakin rentan. Pasar menunggu langkah-langkah konkret dari pemerintah dan Kementerian Keuangan untuk merespons tantangan ini.
Ibrahim memperingatkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya kebijakan tegas, bukan tidak mungkin Rupiah akan terus terdepresiasi lebih jauh. Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan segera mencari alternatif solusi untuk mendatangkan kembali kepercayaan investor.
Kondisi ini menjadi cerminan tantangan pelik bagi ekonomi Indonesia. Data menunjukkan bahwa investor saat ini lebih memilih untuk menunggu dan melihat reaksi pemerintah terhadap situasi yang ada. Respons yang cepat dan tepat dari pemerintah akan sangat menentukan arah perekonomian dan stabilitas nilai tukar ke depannya.





