Menyoroti Struktur APBN 2026: Awas, Ruang Fiskal Semakin Terhimpit!

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menghadapi sejumlah tantangan mendasar yang perlu segera ditanggapi. Dalam sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (ILUNI FEB UI) pada 2 Oktober 2023, para ahli menekankan pentingnya peran APBN sebagai alat untuk kesejahteraan sosial. Sebagai amanah masyarakat, APBN harus diarahkan untuk alokasi yang adil, mendukung distribusi yang memberdayakan, serta bertindak sebagai instrumen stabilisasi ketika menghadapi guncangan dari dalam maupun luar negeri.

Kepala Public Policy Unit ILUNI FEB UI, Rizki Nauli Siregar, menegaskan bahwa pengembalian fungsi APBN sebagai instrumen keadilan merupakan hal yang krusial. “Masyarakat telah memberikan amanah yang sakral. Oleh karena itu, anggaran harus digunakan untuk kepentingan rakyat,” ujar Rizki. Ia juga mengkritisi pergeseran program prioritas dari daerah ke pusat, yang dapat mengurangi daya saing lokal dan mengekang kapasitas daerah dalam berinovasi dan berkontribusi kepada pembangunan yang berkeadilan.

Dalam konteks ini, Teuku Riefky dari tim Kajian Strategis ILUNI FEB UI mengungkapkan bahwa ruang fiskal untuk APBN 2026 semakin terhimpit. Diperkirakan belanja wajib akan mendominasi alokasi anggaran, sehingga menyisakan sekitar 11,5% untuk belanja diskresi pada tahun 2024. Angka ini mencerminkan tantangan signifikan, di mana hampir 37% anggaran dialokasikan untuk program populis yang cenderung tidak efektif dalam fungsi stabilisasi.

Riefky juga mengenalkan istilah “debt-led growth” yang telah mengunci ruang fiskal, menggantikan kebijakan yang produktif dan berorientasi pada pengurangan ketimpangan. “APBN perlu diarahkan kembali pada fungsi produktif yang sesungguhnya, yaitu menciptakan lapangan kerja dan memperkuat institusi,” ungkapnya. Dengan kata lain, efisiensi dalam penggunaan setiap rupiah dari anggaran penting untuk menciptakan perubahan struktural yang berkelanjutan.

Namun, terdapat kekhawatiran bahwa implementasi program-program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak dirancang dengan tepat sasaran. Menurut Riefky, program-program tersebut memerlukan data yang akurat dan perencanaan yang matang agar tidak mengakibatkan pemborosan sumber daya. “Tanpa strategis yang tepat, kapasitas anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial akan tergerus,” tegasnya.

Dalam konteks global, peningkatan utang negara dapat memengaruhi APBN, dan prediksi menunjukkan bahwa utang Indonesia dapat tembus Rp10.360 triliun pada tahun 2026. Hal ini memunculkan kekhawatiran lebih lanjut mengenai keberlanjutan fiskal negeri ke depan.

Sementara itu, Rizki meminta agar DPR harus lebih aktif dalam mengawasi kebijakan fiskal untuk memastikan partisipasi masyarakat dan sektor swasta yang lebih besar. “Peran DPR dalam mengawal kebijakan ini perlu direvitalisasi untuk memastikan setiap lapisan masyarakat dapat berkontribusi,” ujarnya.

Berbagai tantangan ini menyoroti perlunya kerjasama yang solid antara pemerintah dan semua pihak terkait, agar APBN 2026 mampu berfungsi sesuai harapan sebagai pendorong kesejahteraan dan keadilan sosial. Diskusi-diskusi seperti ini menjadi sangat penting dalam konteks perubahan dan perkembangan kebijakan fiskal, dan masyarakat berharap adanya anggaran yang tidak hanya berorientasi pada angka-angka statistik, tetapi juga pada dampak nyata bagi rakyat.

Source: ekbis.sindonews.com

Berita Terkait

Back to top button