Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi, Hakim Berbeda Pendapat?

Suasana sidang kasus dugaan korupsi mengenai akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) pada Jumat (3/10/2025) menjadi perhatian publik, terutama ketika saksi ahli, Prof Dr Rhenald Kasali, memberikan pandangannya. Rhenald menegaskan bahwa akuisisi perusahaan yang sedang dalam kondisi rugi adalah praktik yang lazim dalam dunia bisnis. Ini menandakan bahwa ada perbedaan pandangan antara Rhenald dan pihak jaksa penuntut umum yang berpendapat bahwa akuisisi tersebut tidak layak berdasarkan kinerja keuangan PT JN.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Sunoto, Rhenald diberikan kesempatan untuk menjelaskan posisinya. “Praktik semacam ini bukan hal yang aneh di dunia korporasi,” ujar Rhenald. Ia bahkan mencotohkan pengalaman di industri tambang di Peru, di mana perusahaan yang mengalami kerugian berhasil dibeli oleh perusahaan lain yang mampu mengubah kondisi keuangan mereka menjadi lebih baik.

Rhenald juga menjelaskan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti ASDP perlu mencari laba yang besar. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik yang merupakan tujuan utama BUMN. “Tanpa laba, bagaimana BUMN bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat?” tanya Rhenald. Pernyataan ini menjelaskan bagaimana akuisisi bisa menjadi strategi dalam mencapai pertumbuhan yang diperlukan di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Dalam sidang, mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi, juga memberikan data konkret yang menunjukkan dampak positif dari akuisisi PT JN. Menurutnya, setelah akuisisi, pangsa pasar ASDP melonjak dari 17% menjadi 33,5%, dan laba perusahaan meningkat 37,1%. “Ini adalah contoh nyata dari sinergi,” ungkap Rhenald, yang selanjutnya menjelaskan bahwa akuisisi tidak hanya sekadar penambahan aset, tetapi juga menciptakan nilai baru.

Salah satu isu yang mengemuka dalam sidang adalah metode perhitungan aset yang digunakan oleh jaksa, yaitu scrapped approach, yang dianggap Rhenald tidak memadai. Metode ini, menurutnya, hanya menilai aset berdasarkan nilai barang rongsokan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai intangible yang mungkin dimiliki oleh perusahaan. Rhenald mengkritik cara pandang yang demikian, mengingat bahwa banyak aset seperti merek atau SDM yang tidak dapat diukur dengan cara sederhana.

Berdasarkan data dari jaksa, kerugian negara akibat akuisisi tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp 1,25 triliun. Ini dihitung menggunakan pendekatan yang dianggap mengabaikan banyak aspek penting dari valuasi perusahaan. Rhenald berargumen bahwa penilaian yang dilakukan oleh jaksa tidak memperhitungkan potensi perusahaan. “Perusahaan yang sehat tidak bisa dinilai hanya dari buku akuntansi, tetapi juga dari kinerja dan nilai di pasar,” jelasnya.

Dalam diskusi yang semakin teknis, mantan direktur ASDP lainnya, Yusuf Hadi, juga menekankan bahwa metode perhitungan yang diterapkan oleh jaksa tidak mencerminkan keadaan sebenarnya dari aset yang dimiliki PT JN. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya perspektif yang lebih holistik dalam penilaian perusahaan.

Sidang ini menggambarkan perdebatan yang tidak hanya berkisar pada isu hukum, tetapi juga mencakup pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika bisnis dan pentingnya strategi akuisisi untuk pertumbuhan perusahaan. Rhenald mengingatkan bahwa dalam dunia yang semakin kompetitif, inovasi dan strategi yang tepat menjadi sangat krusial bagi kelangsungan perusahaan, terutama bagi BUMN yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan layanan publik.

Lebih lanjut, Rhenald menegaskan bahwa keputusan untuk mengakuisisi perusahaan rugi, jika dilakukan dengan tepat, dapat menghasilkan sinergi yang menguntungkan. “Sebuah sinergi dapat membuat hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sekadar penambahan aset yang biasa,” tutupnya.

Dengan demikian, sidang ini tidak hanya merefleksikan kasus hukum, tetapi juga menggambarkan tantangan dan kesempatan di dunia bisnis yang kompleks, di mana pendekatan yang tepat bisa menjadi kunci untuk mencapai kesuksesan.

Source: www.suara.com

Berita Terkait

Back to top button