Penurunan Tarif PPN Diprediksi Gairahkan Daya Beli dan Sektor Riil Ekonomi

Rencana pemerintah untuk menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) diperkirakan akan menjadi katalis penting dalam meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong sektor riil di Indonesia. Pengamat ekonomi optimis bahwa jika kebijakan ini diterapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2026 dapat mencapai lebih dari 5,3%.

Fakhrul Fulvian, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas, menegaskan bahwa langkah yang diambil oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini merupakan pendekatan strategis untuk mengatasi stagnasi dalam daya beli yang telah menjadi tantangan utama bagi pemulihan ekonomi dalam dua tahun terakhir. Sejak penyesuaian PPN sebelumnya, pola konsumsi rumah tangga masyarakat mulai mengalami perubahan yang signifikan. Fakhrul mengamati bahwa proporsi tabungan serta dana pihak ketiga milik rumah tangga terus menurun, yang mengindikasikan adanya tekanan pada kemampuan konsumsi mereka.

Dampak positif dari penurunan PPN diharapkan akan meliputi peningkatan konsumsi dan revitalisasi sektor riil. Dengan harga barang dan jasa yang lebih rendah, daya beli masyarakat diharapkan akan meningkat, mendorong permintaan domestik yang lebih kuat. Sektor-sektor yang sangat bergantung pada konsumsi, seperti makanan-minuman, ritel, pariwisata, dan logistik, akan merasakan dampak positif dari kebijakan ini.

Lebih lanjut, penurunan tarif PPN juga memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk bertransisi dari sektor informal ke formal. Pemangkasan beban pajak konsumsi diharapkan akan membuat peralihan ini lebih menarik bagi pengusaha kecil. “Ini bukan hanya tentang pajak yang lebih rendah; ini juga berkaitan dengan memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk bergabung dalam ekosistem formal dan mendapatkan akses pembiayaan yang lebih besar,” tutur Fakhrul.

Salah satu isu penting yang perlu dicermati adalah bahwa penurunan PPN tidak selalu berarti pengurangan pendapatan negara. Dalam jangka menengah, kebijakan ini diharapkan dapat memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan fiskal, terutama jika warga masyarakat melihat arah kebijakan yang lebih pro-rakyat. “Kepatuhan fiskal dapat meningkat jika publik percaya bahwa kebijakan ini berpihak kepada mereka,” tambahnya.

Namun, Fakhrul menekankan perlunya adanya langkah serius dalam hal kepatuhan dan reformasi fiskal untuk menjaga keberlanjutan anggaran. Dua aspek yang perlu diperkuat adalah formalitas sektor-sektor yang berisiko tinggi terhadap ilegalitas—seperti perdagangan rokok tanpa pita cukai dan praktik miss-invoicing—serta pembangunan sistem perpajakan dan kepabeanan yang adil. “Upaya meningkatkan penerimaan negara tidak harus melulu melalui tarif yang tinggi. Justru, sistem yang adil dan dipercaya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,” tegasnya.

Kombinasi antara penurunan PPN, pemulihan daya beli, dan langkah-langkah untuk memformaliskan sektor informal diyakini dapat menciptakan momentum untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat. Menurut Fakhrul, potensi pertumbuhan ekonomi nasional melampaui 5,3% pada tahun 2026 bukanlah hal yang mustahil jika semua elemen ini saling mendukung.

Dalam konteks ini, kebijakan penurunan PPN menjadi langkah strategis yang berpotensi membawa dampak luas bagi masyarakat dan perekonomian. Peningkatan daya beli masyarakat dan penguatan sektor riil dapat berkontribusi pada stabilitas ekonomi yang lebih baik di masa depan. Keberhasilan implementasi kebijakan ini juga bergantung pada dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat secara keseluruhan.

Source: www.beritasatu.com

Berita Terkait

Back to top button