Kredit Nganggur Menjulang Tinggi: Tantangan Bunga Bank yang Susah Turun

Permintaan kredit di Indonesia saat ini masih jauh dari optimal, dengan angka kredit yang belum ditarik atau undisbursed loan mencapai Rp2.374,8 triliun per September 2025. Angka ini mencerminkan 22,54% dari plafon kredit bank yang telah ditetapkan. Meskipun terjadi peningkatan nominal dibandingkan bulan sebelumnya, persentase porsi ini justru menyusut dari 22,71%. Hal ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam mendorong pertumbuhan kredit meski permintaan masih ada.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see dan kecenderungan perusahaan untuk mengoptimalkan pembiayaan internal. Dia menambahkan bahwa suku bunga kredit yang masih tinggi menjadi faktor utama yang menghambat penyaluran kredit. Sektor korporasi, terutama dari bidang perdagangan, industri, dan pertambangan, menjadi penyumbang utama undisbursed loan, yang didominasi oleh kredit modal kerja.

Dalam hal ini, pertumbuhan kredit bank secara keseluruhan tercatat mencapai 7,70% secara tahunan, mengalami peningkatan dari 7,56% pada bulan sebelumnya. Namun, laju penurunan suku bunga perbankan, baik untuk deposito maupun kredit, masih lambat. Perry mengungkapkan bahwa meski Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate sebesar 105 basis poin pada awal 2025, penurunan suku bunga deposito hanya mencapai 29 basis poin dari 4,81% menjadi 4,52% pada September 2025.

Bagi suku bunga kredit, hal ini tidak jauh berbeda. Suku bunga kredit perbankan hanya mengalami penurunan dari 9,20% menjadi 9,05% dalam periode yang sama, mencatat penurunan sebanyak 15 basis poin. Situasi ini menunjukkan bahwa meski langkah untuk meredam suku bunga telah diambil, dampaknya masih belum terasa signifikan di lapangan.

Bank Sentral Tawarkan Insentif Baru

Untuk mengatasi kondisi ini, Bank Indonesia berencana menerapkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang baru mulai 1 Desember 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit yang lebih optimal, khususnya bagi sektor-sektor yang menjadi prioritas, seperti pertanian, industri, dan real estate. Deputi Gubernur BI, Juda Agung, mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan langkah proaktif untuk meningkatkan penyaluran kredit.

Mekanisme insentif yang ditawarkan melalui KLM adalah maksimal sebesar 5,5% untuk masing-masing bank, di mana 5% akan diberikan kepada bank yang menyalurkan kredit kepada sektor-sektor prioritas. Sementara itu, insentif tambahan sebesar 0,5% akan diberikan berdasarkan kecepatan bank dalam menyesuaikan suku bunga kredit. Semakin cepat penyesuaian berlangsung, semakin besar insentif yang akan diterima.

Bank juga akan diwajibkan menyampaikan laporan komitmen rencana penyaluran kredit secara berkala kepada BI untuk evaluasi. Hal ini diharapkan dapat mendorong bank untuk lebih aktif dalam menyalurkan kredit yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Respons Terhadap Kebijakan Baru

Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memberikan angin segar bagi sektor-sektor yang mengalami stagnasi akibat suku bunga tinggi dan ketidakpastian ekonomi. Dengan adanya insentif likuiditas, diharapkan perbankan dapat lebih aktif dalam menawarkan berbagai produk kredit yang demokratis dan bermanfaat bagi pelaku usaha, termasuk UMKM.

Namun, tantangan tetap ada. Apakah bank akan berani mengambil langkah berani dalam menurunkan suku bunga? Atau akan tetap bertahan dengan praktik lama yang cenderung berhati-hati? Di tengah beragam ketidakpastian, langkah baru dari Bank Indonesia menjadi sinyal penting untuk mendorong pertumbuhan kredit yang berkelanjutan.

Kondisi ini tetap memerlukan perhatian penuh dari semua pemangku kepentingan, agar upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak terhambat oleh suku bunga bank yang relatif tinggi. Memantau perkembangan ini akan menjadi penting untuk memproyeksikan langkah-langkah selanjutnya dalam menghadapi tantangan yang ada.

Source: finansial.bisnis.com

Berita Terkait

Back to top button