Industri pembiayaan di Indonesia memiliki peluang besar untuk pertumbuhan, terutama dengan penekanan pada sektor alat berat. Dengan pemerintah saat ini fokus pada pengembangan sektor pertanian, kebutuhan alat berat akan terus meningkat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa penyaluran pembiayaan ke sektor alat berat sangat strategis. Misalnya, program pemerintah terkait B50 yang berfokus pada peningkatan produksi pangan dapat meningkatkan permintaan alat berat.
Selain sektor pangan, perhatian juga harus diberikan pada hilirisasi produk tambang, seperti bauksit dan tembaga. Bhima mengingatkan bahwa proyek-proyek di sektor ini harus teridentifikasi dengan baik. Proyeksi lokasi dan jumlah proyek akan sangat menentukan pertumbuhan penyaluran pembiayaan alat berat.
Faktor lain yang perlu diwaspadai adalah fluktuasi harga komoditas. Bhima menekankan bahwa setiap komoditas memiliki tren permintaan yang berbeda. Contohnya, meskipun harga batu bara mengalami penurunan, harga kelapa sawit sedang meningkat. Hal ini akan berpengaruh pada jenis alat berat yang dibutuhkan di sektor perlombongan dan perkebunan.
Untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, perusahaan pembiayaan disarankan untuk aktif mendalami sektor-sektor yang menjanjikan. Fokus pada komoditas dengan permintaan tinggi, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, bisa menjadi strategi yang efektif. Analisis mendalam terhadap kondisi internal perusahaan peminjam juga sangat penting.
Meskipun ada potensi pertumbuhan, penting bagi perusahaan untuk menjaga rasio risiko non-performing financing (NPF) tetap rendah. Data dari OJK menunjukkan bahwa rasio NPF gross di industri multifinance tercatat pada angka 2,51%, dengan NPF net sebesar 0,85%. Rasio-rasio ini menunjukkan bahwa profil risiko perusahaan pembiayaan tetap terjaga, meskipun mereka mengalami pertumbuhan di sektor alat berat.
Sebagai informasi tambahan, piutang pembiayaan untuk alat berat mencapai Rp48,76 triliun hingga Juni 2025. Ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 13,65% secara tahunan (YoY). Sementara itu, total piutang pembiayaan di multifinance mencapai Rp505,59 triliun per Agustus 2025, meningkat 1,26% YoY.
Dalam konteks ini, pemilihan sektor dan analisis risiko menjadi semakin relevan. Perusahaan pembiayaan harus bersikap lebih selektif dalam menentukan pasar mana yang akan dituju. Dengan pendekatan yang tepat, tidak hanya pertumbuhan penyaluran pembiayaan alat berat dapat dicapai, tetapi juga risiko NPF dapat dimanage secara efektif.
Melihat tren ini, penting bagi perusahaan multifinance untuk tetap adaptif. Menganalisis lokasi proyek dan potensi permintaan alat berat menjadi langkah strategis. Hal ini tidak hanya akan mempengaruhi profitabilitas tetapi juga menciptakan keamanan finansial bagi perusahaan pembiayaan ke depannya.
Dengan pendekatan yang tepat dan perhatian terhadap risiko, perusahaan pembiayaan dapat berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui dukungan terhadap sektor alat berat. Ini adalah langkah yang tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan, tetapi juga bagi perekonomian nasional secara keseluruhan.
Baca selengkapnya di: finansial.bisnis.com




