Pelaku Usaha Thrifting: Impor Murah dan Tuduhan Rugi UMKM yang Perlu Diketahui

Pelaku usaha thrifting kini angkat suara terkait isu yang menimpa bisnis impor pakaian bekas. Mereka menegaskan bahwa usaha thrifting tidak merugikan UMKM, justru elemen impor murah yang menjadi masalah.

Menurut Alvin Jovendri, pelaku usaha dari J Store, thrifting merupakan bagian dari ekonomi sirkular. Praktik ini mendukung prinsip keberlanjutan dan go green. Ia menekankan bahwa banyak pelaku usaha lokal tidak bergantung pada barang impor. Mereka menjual pakaian bekas dari teman atau komunitas lokal.

Alvin mengungkapkan bahwa model bisnis thrifting secara lokal dapat membantu memperkuat ekonomi kreatif. Banyak pelaku usaha kecil menjual pakaian bekas berkualitas dengan harga terjangkau. Harga pakaian dapat berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 20.000 per potong.

“Thrifting itu bukan pembunuh usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM),” tegas Alvin. Ia menambahkan bahwa barang-barang impor murah yang mengancam konveksi lokal. Praktik ini memberikan peluang bagi masyarakat dengan modal terbatas.

Ia juga mengkritik pandangan pemerintah yang menyamakan semua praktik jual beli pakaian bekas. Alvin berharap pemerintah membuat aturan yang membedakan antara praktik ilegal dan aktivitas thrifting lokal. Pemerintah perlu mencari solusi yang memungkinkan pelaku usaha tetap beroperasi.

Alvin mengaku siap menerima pajak atau regulasi khusus. Namun, kebijakan tersebut seharusnya tidak menghambat pelaku kecil dari menjalankan usaha mereka. “Kalau yang ilegal tentu kita setuju untuk dihilangkan,” tambahnya.

Keberagaman dalam praktik thrifting juga menunjukkan perlunya perhatian pada pengelolaan sampah tekstil. Impor pakaian bekas ilegal dapat memperburuk masalah lingkungan. Alvin menilai, dengan pengelolaan yang baik, thrifting dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan ekonomi.

Pelaku usaha pun mulai membuat jaringan untuk mendukung pertumbuhan industri thrifting. Mereka bekerja sama dengan komunitas lokal dalam mengedukasi masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih memahami pentingnya keberlanjutan dan penggunaan kembali barang.

Praktik thrifting menjadi pilihan alternatif yang mampu menjangkau konsumen dengan berbagai lapisan ekonomi. Pakaian bekas yang dijual memiliki nilai guna dan kualitas yang baik. Ini adalah cara bagi masyarakat untuk tetap stylish tanpa harus membeli barang baru.

Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan perluasan pasar thrifting selama beberapa tahun terakhir. Ini menjadi indikasi bahwa banyak masyarakat yang mulai beralih ke pakaian bekas. Kenaikan minat ini saatnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah.

Pemerintah diharapkan dapat membedakan pintu masuk barang secara legal dan ilegal. Penerapan regulasi yang tepat akan membantu melindungi UMKM. Sementara tetap memberi ruang bagi pelaku usaha thrifting untuk berkembang.

Dengan perkembangan ini, ada harapan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada pelarangan. Namun, juga membantu menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan usaha kecil.

Pelaku usaha thrifting kini memiliki tantangan baru untuk dihadapi. Mereka perlu berinovasi agar tetap eksis di tengah tantangan tersebut. Di sisi lain, potensi pasar untuk pakaian bekas terus terbuka lebar.

Aktivitas thrifting perlu dilihat sebagai langkah positif. Hal ini menandai kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlanjutan. Seiring berjalannya waktu, diharapkan pelaku usaha ini dapat terus berkontribusi pada perekonomian lokal tanpa mengorbankan lingkungan.

Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com

Berita Terkait

Back to top button