Buruh Tolak UMP 2026: Tuntutan Kenaikan 10,5% Jadi Sorotan Publik dan Pemerintah

Kebangkitan aksi buruh di Indonesia semakin mengemuka dengan penolakan atas usulan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang diajukan oleh pemerintah dan pengusaha. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan ketidakpuasan mereka pada formula yang dirancang tanpa melibatkan suara buruh. Penolakan ini mencerminkan suara buruh di seluruh Indonesia yang menuntut kenaikan upah berkisar antara 8,5% hingga 10,5%.

"Angka ini menjadi acuan bagi serikat buruh di berbagai daerah, baik di Dewan Pengupahan provinsi maupun kabupaten/kota," jelas Said Iqbal, Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh. Kenaikan upah sektor juga menjadi perhatian, dengan harapan nilai tersebut melebihi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Menolak Regulasi yang Tidak Melibatkan Buruh

Said Iqbal mengkritik rencana pemerintah yang dinilai tidak tepat. Menurutnya, rencana Menteri Ketenagakerjaan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan tanpa melibatkan serikat pekerja adalah langkah yang tidak mengedepankan dialog. "Jika PP itu diterbitkan tanpa konsultasi, itu adalah kebijakan yang ngawur," tegasnya, menambahkan bahwa hal ini tidak sesuai dengan semangat keadilan.

Pernyataan oleh Ketua Dewan Pengupahan Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan tentang dukungan Presiden Prabowo terhadap formula baru penetapan upah juga dianggap menyesatkan. Said Iqbal mempertanyakan keakuratan klaim tersebut, "Kami menduga itu bohong. Tidak benar Presiden setuju dengan formula baru tersebut."

Dampak Ekonomi Kenaikan UMP

Said Iqbal mengingatkan bahwa keputusan pemerintah harus mempertimbangkan aspek ekonomi yang lebih luas. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, disebutkan bahwa kenaikan upah minimum harus sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Inflasi akhir-akhir ini mencapai 2,65% dan pertumbuhan ekonomi di angka 5,12%. Indeks tertentu yang menjadi mandat Presiden juga harus diperhitungkan," jelasnya.

Menurutnya, penurunan indeks tertentu dari yang sebelumnya 0,9 menjadi 0,2-0,7 akan merugikan buruh. "Jika indeks tersebut diturunkan, maka pengusaha akan mendapatkan keleluasaan untuk membayar upah yang lebih rendah. Ini adalah bentuk perlindungan kepada pengusaha untuk mengurangi beban mereka," tambahnya.

Tanggapan Terhadap Usulan dari Apindo

KSPI dan Partai Buruh juga menolak usulan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terkait indeks tertentu yang hanya 0,1-0,5. Hal ini dipandang akan menghasilkan kenaikan upah yang sangat rendah, bahkan di bawah kebutuhan hidup layak. "Jika rumus itu digunakan, maka kenaikan upah akan sangat kecil," ungkapnya.

Kenaikan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak menjadi suatu hal yang sangat mendesak bagi buruh. Said Iqbal menegaskan bahwa kebijakan yang mendukung kenaikan upah akan mendorong daya beli, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi. "Sekarang, jika malah diturunkan, itu bertentangan dengan visi kerakyatan yang diusung oleh Presiden," ucapnya.

Membutuhkan Dialog yang Lebih Keterbukaan

Sikap KSPI mencerminkan kebutuhan untuk berjalannya dialog yang lebih transparan antara pihak buruh dan pemerintah. Keterlibatan buruh dalam setiap pembahasan regulasi tentang upah sangat diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang adil dan sesuai dengan prinsip keadilan sosial.

Kondisi ini menjadi gambaran penting dalam perjuangan buruh di Indonesia, di mana pengakuan terhadap hak-hak mereka menjadi sangat utama. Jika tidak ada tindakan yang jelas dari pemerintah untuk melibatkan buruh dalam pembuatan kebijakan, maka ketegangan antara buruh dan pengusaha mungkin akan terus berlanjut.

Baca selengkapnya di: finance.detik.com

Berita Terkait

Back to top button