Kebijakan penyesuaian tarif tol di Indonesia kembali menjadi topik hangat. Belakangan, keberadaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai syarat utama kenaikan tarif dipertanyakan. Beberapa pihak menilai SPM tidak lagi relevan dengan kondisi nyata yang dihadapi oleh pengguna jalan.
Ekky Bahtiar, seorang pemerhati transportasi, mengungkapkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam menentukan tarif tol perlu beralih ke metodologi yang lebih berdasarkan keselamatan dan kinerja. Menurutnya, penilaian tarif tidak seharusnya hanya mengandalkan dokumen pemenuhan SPM, tetapi juga harus mencerminkan situasi di lapangan. Hal ini penting agar pengguna mencakup pengalaman yang sesungguhnya.
Kenaikan tarif tol diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2021. Dalam peraturan ini, terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Syarat tersebut mencakup penyesuaian inflasi setiap dua tahun dan pemenuhan SPM yang meliputi waktu tempuh, aspek keselamatan, kondisi jalan, fasilitas pendukung, dan respons terhadap keadaan darurat. Namun, di lapangan, banyak ruas tol strategis seperti Tol JORR dan Jakarta-Cikampek menghadapi masalah klasik yang seakan tidak kunjung selesai.
Kualitas jalan sering kali tidak memadai. Permukaannya bergelombang, terdapat tambalan yang buruk, dan kerusakan minor yang terus berulang. Ini menunjukkan adanya ketidakcocokan antara kebijakan dan realita di lapangan. Khususnya di luar pulau Jawa, seperti Trans Sumatera, kondisi bahkan lebih kompleks. Hal ini mencakup masalah seperti rest area yang kurang memadai dan penerangan yang terbatas.
Ekky menekankan bahwa ketika pelayanan tidak setara, maka menaikkan tarif setiap dua tahun terasa tidak adil untuk pengguna. Penilaian terhadap SPM juga dipertanyakan terkait independensinya. Pemeriksaan dinilai masih tergantung pada laporan internal BUJT ketimbang audit yang lebih transparan. Akibatnya, meskipun tarif naik, keluhan dari publik justru semakin meningkat.
Kinerja layanan tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Waktu tempuh sering kali tetap tidak berubah, sementara kenaikan tarif berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan kualitas layanan. Hal ini tentu saja menambah beban bagi pengguna, tidak hanya dalam perjalanan sehari-hari tetapi juga dalam biaya logistik.
Meskipun terdapat sanksi dalam peraturan yang mengatur, seperti PP Nomor 23 Tahun 2024 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengeluarkan teguran, hingga membatalkan perjanjian, implementasinya masih dianggap kurang efektif.
Untuk mengembalikan kepercayaan publik mengenai tarif tol, sejumlah rekomendasi pun diajukan. Pertama, audit independen perlu dilakukan agar penilaian terhadap SPM bisa objektif. Ini penting untuk memastikan bahwa data yang digunakan tidak hanya berdasarkan laporan dari operator.
Kedua, transparansi data infrastruktur sangat diperlukan. Kondisi jalan, keluhan pengguna, dan waktu tempuh bisa dirilis secara berkala agar masyarakat lebih memahami situasi yang ada. Selanjutnya, skema kenaikan tarif perlu berbasis kinerja. Kenaikan tarif hanya boleh dilakukan ketika kualitas layanan benar-benar meningkat.
Pengawasan real-time melalui sistem pelaporan digital juga bisa menjadi solusi. Ini diharapkan bisa menyesuaikan tarif secara asimetris, seperti menunda atau bahkan menurunkan tarif di ruas-ruas yang berkualitas buruk.
Di jangka panjang, revitalisasi jalan yang ada, pembukaan ruas baru, serta pengembangan moda transportasi alternatif akan menjadi solusi penting. Jaringan kereta api yang lebih aman dan efisien sangat diperlukan untuk meningkatkan mobilitas masyarakat.
Kritik terhadap kebijakan SPM menandakan bahwa kebijakan tarif tol perlu pembaruan mendasar. Pergeseran bersama menuju pendekatan berbasis keselamatan dan kinerja sangat penting untuk memastikan bahwa tarif yang dibayar masyarakat sebanding dengan layanan yang diperoleh.
Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com




