Adopsi smartphone 5G di Indonesia saat ini mengalami stagnasi. Menurut laporan Counterpoint Research, pada kuartal III tahun 2025, angka adopsi smartphone 5G tercatat tetap di level 35%. Angka ini sama dengan capaian kuartal sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, ada peningkatan tipis sebesar 4%.
Analis pasar, Aryo Meidianto Aji dari SEQARA Communications, mengungkapkan bahwa masalah utama yang menghambat adopsi adalah jaringan yang belum siap. “Cakupan jaringan 5G masih sangat terbatas dan kurang konsisten,” ujarnya. Hal ini berpengaruh terutama bagi konsumen di luar kota besar. Bagi mereka, fitur 5G pada perangkat belum memberikan manfaat nyata.
Jumlah pengguna smartphone yang terhubung dengan 5G di daerah pedesaan masih sangat sedikit. Aryo menambahkan bahwa infrastruktur 5G belum sepenuhnya mendukung. Selain itu, dari sisi kegunaan, 5G dinilai tidak menawarkan solusi baru yang berarti bagi pengguna. Kecepatan tinggi menjadi sekadar angka dalam pemasaran saat ini.
Rata-rata pengguna merasa aplikasi sehari-hari, seperti media sosial dan streaming, sudah cukup lancar dengan teknologi 4G. Aryo menyatakan, “Tidak ada ‘pain point’ yang dipecahkan 5G bagi rata-rata pengguna.” Ini menunjukkan bahwa adopsi 5G saat ini masih jauh dari harapan.
Preferensi konsumen juga berperan besar dalam situasi ini. Banyak orang lebih memprioritaskan smartphone dengan harga terjangkau. Cenderung memilih perangkat yang lebih murah, sekitar selisih Rp200.000 hingga Rp300.000, ketimbang perangkat dengan fitur 5G yang belum terbukti bermanfaat. “Value for money dan daya tahan masih jadi raja,” jelas Aryo.
Hasil survei dari Growth from Knowledge (GfK) menunjukkan tren serupa. Konsumen di Indonesia sekarang lebih mengutamakan faktor durabilitas, kualitas, dan manfaat nyata dari perangkat. Mereka mencari produk dengan nilai yang jelas, bukan sekadar klaim teknologi yang canggih.
Counterpoint Research pernah mencatat fluktuasi pangsa pasar 5G dalam empat kuartal terakhir. Pada kuartal IV tahun 2024, pangsa perangkat 5G anjlok menjadi 25%. Pemulihan sedikit terjadi pada kuartal I tahun 2025 dengan kenaikan satu poin menjadi 26%. Tren positif mulai terlihat pada kuartal II tahun 2025 dengan lonjakan hingga 35%, dan bertahan pada kuartal III tahun yang sama.
Stabilitas angka tersebut didorong oleh meningkatnya ketersediaan perangkat 5G dengan harga terjangkau. Para produsen kini menawarkan lebih banyak pilihan di segmen menengah. Secara keseluruhan, pasar smartphone domestik menunjukkan pemulihan yang lebih kuat. Counterpoint mencatat pengapalan smartphone tumbuh 12% secara tahunan pada kuartal III tahun 2025.
Segmen entry-level menjadi motor utama di pasar ini. Pengiriman smartphone dengan harga di bawah US$150 meningkat 42% dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga kini menguasai 55% pangsa pasar. Ini menunjukkan strategi agresif produsen dalam menawarkan produk yang sesuai dengan daya beli masyarakat.
Namun, pasar kelas menengah hingga premium semakin tertekan. Pengapalan smartphone dalam rentang harga US$150 hingga US$349 turun sebesar 10%. Begitu pula dengan kelas harga US$350 hingga US$699 yang merosot 11%, serta segmen premium di atas US$700 yang turun 14%.
Dalam hal merek, Samsung kembali menduduki posisi teratas di pasar smartphone Indonesia dengan pangsa 20%. Xiaomi menyusul di posisi kedua dengan 17%. OPPO, vivo, dan Infinix juga mencatatkan pangsa pasar yang signifikan. Infinix bahkan mengalami pertumbuhan paling agresif dengan lonjakan 45% secara tahunan.
Melihat kondisi ini, jelas bahwa adopsi smartphone 5G akan terus terhambat jika infrastruktur jaringan tidak segera diperbaiki. Konsumen membutuhkan lebih dari sekadar kecepatan; mereka ingin nilai yang nyata dari produk yang digunakan sehari-hari.
Baca selengkapnya di: teknologi.bisnis.com




