Fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap pertunjukan sound horeg mengundang protes dari para pengusaha yang terlibat. Salah satunya adalah Saiful, seorang pengusaha sound system dan pionir sound horeg di Blitar, Jawa Timur. Ia menyatakan bahwa keputusan tersebut seharusnya mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi di masyarakat, bukan diambil secara sepihak.
“Dari perspektif saya, pelarangan ini justru akan memperlambat laju kemajuan bangsa, terutama dalam sektor ekonomi kreatif dan budaya rakyat,” ujar Saiful dalam pernyataannya. Ia juga menegaskan bahwa saat negara-negara lain fokus pada pengembangan teknologi, Indonesia malah terjebak dalam debat seputar halal dan haram. Hal ini, menurutnya, berpotensi membuat Indonesia tertinggal.
Saiful mengaku telah lama mengedepankan konsep sound horeg yang tidak mengandung unsur negatif, seperti minuman keras atau penari berpakaian seksi. “Saya mempromosikan sound horeg sebagai entitas yang edukatif, menjunjung tinggi nilai budaya, dan bebas dari pengaruh negatif,” tegasnya. Ia bahkan menyarankan untuk mengubah bentuk pertunjukan tersebut menjadi pawai budaya yang lebih positif, yang dapat mengangkat sejarah lokal dan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat.
Lebih jauh, ia menggambarkan fatwa MUI sebagai sebuah larangan yang tidak berdasar, seperti melarang olahraga sepakbola hanya karena adanya perjudian. Menurutnya, pelarangan mutlak tanpa solusi alternatif justru dapat membunuh peluang kerja dan kreativitas masyarakat.
Sementara itu, KH. Muhibbul Aman Aly, salah satu kiai yang terlibat dalam perumusan fatwa, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan tiga pertimbangan utama: gangguan suara pada masyarakat, potensi kemungkaran seperti joget erotis, dan risiko kerusakan moral pada generasi muda. Terlepas dari protes yang datang, fatwa ini dinyatakan berlaku tanpa pengecualian, bahkan di daerah yang tidak mendapatkan keluhan.
Beragam reaksi juga muncul di kalangan warganet. Beberapa menanggapi negatif terhadap klaim Saiful mengenai kemajuan bangsa yang berkaitan dengan sound horeg. Komentar-komentar tersebut mencerminkan skeptisisme dan mempertanyakan relevansi industri sound horeg dalam konteks pembangunan nasional.
Namun, ada juga pendapat yang mendukung gagasan Saiful, yang berargumen bahwa sound horeg bisa diolah menjadi media hiburan yang positif, serta wadah pemberdayaan ekonomi jika dijalankan secara bijak. Banyak yang berpendapat bahwa dengan pengemasan yang tepat, sound horeg dapat menjadi daya tarik tersendiri yang tidak hanya meramaikan hiburan lokal tetapi juga mendukung pendapatan masyarakat.
Fenomena sound horeg sendiri muncul di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, sejak awal tahun 2000-an. Popularitasnya meningkat pasca-pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Istilah “horeg” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya “bergerak” atau “bergetar,” sangat sesuai dengan karakteristik sound horeg yang dapat menghasilkan suara keras hingga menyebabkan getaran pada bangunan di sekitarnya.
Tentu saja, tidak dapat dipungkiri bahwa sound horeg sering kali menghasilkan tingkat kebisingan yang melebihi batas toleransi dan standar baku yang ditetapkan pemerintah. Banyak laporan mengenai gangguan yang ditimbulkan, termasuk kerusakan pada rumah akibat getaran dari suara tersebut. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan antara eksistensi budaya dan kenyamanan masyarakat.
Situasi ini memungkinkan diskusi antara isu-isu budaya dan tantangan sosial untuk terus berlanjut. Bagaimana sound horeg dapat dimanfaatkan secara positif terhadap ekonomi dan budaya, di tengah upaya menjaga norma dan moral masyarakat, menjadi pertanyaan mendesak yang harus dijawab oleh semua pihak.
