Makki Omar Parikesit, yang dikenal sebagai Makki Ungu, memberikan tanggapan terkait protes dari sejumlah pencipta lagu mengenai nominal royalti yang dianggap terlalu kecil. Dalam percakapan di Pancoran, Jakarta Selatan, selaku anggota Badan Pengawas Wahana Musik Indonesia (WAMI), Makki mencatat bahwa persoalan terkait royalti ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang beragam.
Salah satu poin yang disampaikan Makki adalah bahwa nilai royalti yang diterima pencipta lagu sangat bergantung pada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang mereka pilih. Setiap LMK memiliki kebijakan dan mekanisme yang berbeda dalam pengelolaan data dan distribusi royalti kepada anggota. “Ya mungkin dia belum buka ATLAS. Atau, belum jadi anggota LMK,” ujar Makki. Hal ini menunjukkan pentingnya keterlibatan pencipta lagu dalam LMK untuk mendapatkan manfaat dari royalti.
Sebagai contoh, Makki menyebutkan kasus penyanyi muda Sal Priadi, yang berhasil meraih pendapatan royalti hingga Rp114 juta meski baru bergabung dalam WAMI pada Januari 2025. Makki menegaskan bahwa hal ini mungkin dapat terjadi karena data yang disampaikan Sal lengkap dan jelas. “Kayak Sal baru Januari masuk, tapi karena dia datanya lengkap dan bagus ya kita bisa kasih penjelasan yang jelas,” tuturnya. Ini mengindikasikan bahwa pencipta lagu yang didukung oleh data dan informasi yang tepat dapat memperoleh royalti yang lebih signifikan.
Namun, Makki mengingatkan bahwa pencipta lagu yang belum terdaftar dalam LMK tidak akan mendapatkan royalti. “Jadi kalau lo bukan anggota LMK, enggak akan dapat royalti udah pasti,” tegasnya. Hal ini menyiratkan pentingnya keanggotaan LMK bagi para pencipta lagu agar tidak kehilangan hak mereka. “Kita enggak bisa ngomong soal anggota yang lain,” tambahnya.
Kritik terhadap kecilnya nominal royalti tidak jarang muncul dari pencipta lagu yang tidak memahami sistem pengelolaan yang ada. Makki menegaskan bahwa WAMI hanya bertanggung jawab terhadap anggotanya dan tidak memiliki kuasa terhadap pencipta lagu yang terdaftar dalam LMK lain. Ini menunjukkan perlunya pendidikan mengenai pentingnya keanggotaan dalam LMK bagi para pencipta lagu agar mereka dapat memenuhi hak-hak mereka.
Makki juga mencatat bahwa masalah lain yang berkontribusi pada rendahnya royalti adalah kurangnya pemahaman dari pencipta lagu itu sendiri untuk memanfaatkan aplikasi pengelolaan data royalti, seperti ATLAS. “Jadi kalau Anda pengarang lagu dan tidak terdaftar di LMK, lupakan, enggak akan dapat royalti,” tandas Makki. Ini adalah pengingat bagi para pencipta lagu untuk lebih proaktif dalam mengelola karya dan hak-hak mereka.
Situasi ini menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh pencipta lagu di Indonesia, di mana transparansi dan pemahaman tentang sistem pengelolaan royalti menjadi sangat dibutuhkan. Sementara itu, bagi para anggota LMK, penting untuk terus memperbaharui data dan informasi, agar dapat mendapatkan royalti sesuai dengan haknya.
Dalam konteks industri musik yang semakin berkembang, perdebatan mengenai royalti ini menjadi sorotan yang penting. Hal ini bukan hanya menyangkut kepentingan finansial, tetapi juga pengakuan atas karya seni yang telah diciptakan oleh para musisi. Dengan adanya konversasi yang terbuka seperti ini, diharapkan semua pihak termasuk pencipta lagu, LMK, dan masyarakat dapat saling memahami dan menghargai peran masing-masing dalam ekosistem musik di Indonesia.
Dengan demikian, komunikasi yang efektif antara pencipta lagu dan lembaga manajemen royalti menjadi kunci untuk menciptakan sistem yang lebih baik. Ini akan menghantarkan pada kesejahteraan para musisi dan industri musik yang lebih maju di tanah air.





