Film terbaru garapan sutradara Lucky Kuswandi, A Normal Woman, yang tayang di Netflix sejak 24 Juli, mengajak penonton menyelami kompleksitas emosi yang dihadapi oleh seorang perempuan ideal bernama Milla. Dalam narasi yang menggabungkan elemen drama psikologis dan thriller, film ini menggambarkan bagaimana ekspektasi masyarakat dan tekanan psikologis dapat menjerat perempuan dalam pencarian identitas yang sejati.
Milla, diperankan oleh aktris Marissa Anita, hidup dalam suasana yang terlihat sempurna: lingkungan mewah dan tenang. Namun, di balik citra ideal tersebut, dia menyimpan kegelisahan yang mengguncang batinnya. Ketika mengalami gangguan fisik dan psikis yang tiba-tiba, Milla merasakan ketidakberdayaan yang mendalam. Rasa sakit yang dialaminya tak hanya merusak fisiknya, tetapi juga menguras energi mentalnya saat berusaha memenuhi harapan lingkungan yang terus-menerus menuntut kesempurnaan.
Film ini merangkum tema universal yang relevan bagi banyak perempuan masa kini, yaitu bagaimana mereka sering kali terperangkap dalam norma sosial yang menuntut. Banyak perempuan merasa harus menomorsatukan kebahagiaan orang lain, sehingga sering kali mengabaikan kebutuhannya sendiri. Milla adalah representasi nyata dari perjuangan ini; dia terperangkap dalam serangkaian harapan yang datang dari keluarganya, masyarakat, dan dirinya sendiri.
Dalam prosesnya, Milla berjuang tidak hanya melawan penyakit yang merenggut kesehatannya, tetapi juga dengan luka-luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh. Kisahnya semakin berlapis saat diperlihatkan hubungan antara Milla dan putrinya, Angel, yang diperankan oleh Mima Shafa. Angel, yang menyaksikan penderitaan ibunya, berani menolak mewarisi trauma dan bertekad memutus siklus menyakitkan dalam keluarga mereka. Pertentangan antara mereka menggarisbawahi pentingnya generasi baru dalam mematahkan pola yang merugikan.
Selain alur cerita yang mendalam, A Normal Woman juga menampilkan kekuatan karakter perempuan. Milla, meskipun berada dalam kondisi yang sangat sulit, tetap berjuang untuk memahami jati dirinya dan menemukan makna hidup yang lebih dalam. Dia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan besar mengenai eksistensinya dan sejauh mana dia telah hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Film ini tidak hanya berkisar pada masalah individu, tetapi juga menyampaikan kritik sosial yang kuat tentang bagaimana perempuan sering kali dibebani oleh harapan yang tak realistis. Hal ini tentunya menggugah penonton untuk merenungkan perannya masing-masing dalam mendukung perempuan di sekitar mereka dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara psikologis.
Di tengah lonjakan pembicaraan mengenai kesehatan mental, A Normal Woman hadir sebagai pengingat bahwa perjalanan menemukan diri sendiri bisa jadi sangat kompleks. Keberanian Milla untuk menghadapi rasa sakitnya membuktikan bahwa perjalanan ini adalah bagian penting dari hidup yang harus dihargai.
Dengan penampilan yang memukau dan narasi yang menyentuh, film ini mengajak penonton untuk tidak hanya menilai dari luar. Nyatanya, banyak dari kita yang berjuang dengan norma-norma yang diciptakan masyarakat, dan Milla adalah salah satu sosok yang mewakili suara tersebut. Film ini layak ditonton bagi siapapun yang ingin merenung tentang tantangan yang dihadapi perempuan modern dalam mengejar ekspektasi yang terkadang dapat terasa menyesakkan.
Dengan segala elemen storytelling yang kuat, A Normal Woman bukan hanya sekadar tontonan, tetapi sebuah refleksi mendalam mengenai keseharian perempuan yang kerap terpasung oleh harapan dan stigma sosial.
