Generasi Z, yang terdiri dari individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, sering kali dianggap sebagai kelompok yang enggan menjalani pernikahan. Anggapan ini muncul seiring meningkatnya kasus perceraian dan gaya hidup yang berbeda dari generasi sebelumnya. Banyak yang bertanya-tanya, apakah ini mitos atau fakta bahwa Gen Z malas menikah?
Salah satu faktor yang dianggap berkontribusi terhadap pandangan ini adalah fenomena childfree. Fenomena ini, yaitu keputusan untuk tidak memiliki anak, semakin banyak diadopsi oleh kalangan muda. Menurut data, angka perceraian yang tinggi dan berita tentang perselingkuhan yang sering beredar di media sosial turut mempengaruhi pola pikir generasi ini. Menariknya, meskipun banyak dari mereka memiliki keinginan untuk memiliki hubungan romantis, banyak yang merasa bahwa pernikahan bukanlah suatu prioritas.
Pandangan Ahli Mengenai Fenomena Ini
Dokter Boyke, seorang seksolog, menjelaskan bahwa gaya hidup dan pola pikir Gen Z menjadi alasan utama mereka menghindari komitmen serius. Dia mengamati bahwa banyak anak muda merasa terjebak dalam “sandwich generation”, di mana mereka harus memikirkan tanggung jawab terhadap orang tua dan anak. “Mereka merasa masih terlalu muda untuk berkomitmen,” ujarnya saat ditemui di Jakarta.
Sikap ini dapat menjadi perhatian serius, karena bisa berujung pada perilaku yang lebih berisiko. Boyke mengingatkan bahwa memutuskan untuk tidur dengan pasangan tanpa ikatan pernikahan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit menular seksual. Ini adalah isu penting yang perlu diperhatikan, mengingat tantangan kesehatan yang dihadapi generasi saat ini.
Tren Seks Bebas dan Its Dampak
Dalam penelitiannya, Boyke mencatat bahwa Gen Z lebih terbiasa dengan seks bebas. Mereka tidak menolak kebutuhan seksual, namun enggan meleburkan hal tersebut dalam pernikahan. “Berdasarkan penelitian, mereka tetap mencari kepuasan seksual tanpa perlu ikatan resmi,” katanya. Hal ini menunjukkan pergeseran dalam pandangan terhadap hubungan yang dianggap lebih santai dan tidak terikat oleh norma tradisional.
Implikasi Childfree dan Kesehatan Mental
Keputusan untuk memilih childfree kian populer di kalangan Gen Z. Menurut Boyke, memiliki anak sebenarnya bermanfaat bagi kesehatan mental seseorang. Mengasuh anak dapat meningkatkan empati dan mengurangi ego. “Pun memiliki anak itu adalah naluri alami manusia. Saya selalu berpendapat bahwa satu anak dapat mengajarkan banyak hal,” terangnya.
Disisi lain, keputusan anak muda untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak menjadi dilema sosial yang lebih besar. Sementara beberapa melihat ini sebagai kebebasan, yang lain khawatir tentang dampaknya terhadap struktur keluarga di masa depan.
Tantangan dan Kemungkinan Perubahan Pandangan
Di tengah fenomena ini, ada harapan bahwa pandangan Gen Z terhadap pernikahan dan keluarga bisa berubah. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, mereka mungkin mulai mempertimbangkan kembali nilai-nilai tradisional ini. Melihat tren pernikahan yang terjadi di negara lain juga bisa membuka wawasan baru bagi mereka.
Masyarakat pun berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan sikap ini. Edukasi tentang hubungan yang sehat, serta informasi mengenai manfaat memiliki keluarga, bisa membantu mengubah pola pikir yang ada.
Dalam kesimpulannya, meskipun banyak orang menganggap Gen Z malas menikah, kenyataannya lebih kompleks. Banyak faktor, dari tekanan sosial hingga tantangan hidup, yang membentuk sikap mereka. Gen Z bukan hanya sekadar menolak pernikahan, tetapi juga menciptakan definisi baru tentang cinta dan komitmen yang sesuai dengan realitas hidup modern.
