Dalam dunia musik Indonesia, perdebatan mengenai royalti menjadi semakin kompleks, terutama dengan adanya pernyataan Anji yang menyoroti kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) terkait royalti suara. Anji mempertanyakan keadilan dalam pembagian royalti, terutama terkait dengan penggunaan lagu di berbagai tempat usaha. Ia menekankan bahwa pembayaran royalti tidak hanya berlaku untuk lagu-lagu yang diputar, tetapi juga mencakup suara-suara lain seperti kicauan burung.
Anji mengungkapkan keraguan mengenai efektivitas sistem royalti yang diusulkan, di mana pembayaran akan dihitung berdasarkan jumlah kursi di tempat usaha, tanpa mempertimbangkan jenis musik yang diputar. “Jadi bagaimana membaginya kepada pencipta? Apakah LMK tahu lagu apa saja yang diputar? Apakah akan adil sesuai penggunaannya?” tulis Anji dalam unggahan Instagram-nya baru-baru ini. Pertanyaan ini menggambarkan kekhawatirannya terhadap transparansi dan keadilan dalam sistem yang ada.
Masalah ini menjadi semakin rumit seiring dengan munculnya kasus seperti yang dialami Mie Gacoan di Bali, yang terjebak dalam isu hukum karena tidak membayar royalti untuk lagu-lagu yang diputar. Anji menekankan bahwa ada perbedaan mendasar antara kasus restoran yang menghadapi tuntutan hukum dan hubungan antara pencipta lagu dan musisi. “Sama-sama performing rights, tetapi konteksnya berbeda,” ujarnya.
Di sisi lain, Anji mendukung penerapan sistem direct license, di mana pencipta lagu berhak atas royalti yang berhubungan langsung dengan penggunaan lagunya. “Ketika pencipta lagu meminta hak royalti, jelas siapa yang menggunakan lagunya dan berapa bayaran yang diterima,” ia menambahkan. Sistem ini, menurut Anji, dapat memberikan kepastian bagi pencipta lagu dan membuat mereka lebih dipercaya dalam proses penarikan royalti.
Masih dalam konteks pendidikan, Anji menekankan bahwa pemahaman terkait royalti belum merata di kalangan pelaku usaha. Banyak yang belum mengerti atau bahkan acuh tak acuh terhadap tanggung jawab pembayaran royalti tersebut. “Banyak gerai yang tidak mengerti tentang hal ini. Dan memang belum terbiasa untuk hal seperti itu,” jelasnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya edukasi yang lebih intensif dari pihak berwenang.
Lebih jauh, Anji berharap adanya inisiatif dari pemerintah untuk memperjelas aturan dan mekanisme distribusi royalti. Salah satu ide yang ia lontarkan adalah penggunaan alat yang mampu mendeteksi penggunaan lagu, sehingga pembayaran royalti bisa lebih akurat dan transparan. Alat ini bakal memberikan kepercayaan kepada semua pihak bahwa hasil royalti dikelola dengan baik.
Penting bagi LMK untuk menjelaskan cara pengumpulan dan distribusi royalti kepada pelaku usaha. Keterbukaan ini diperlukan agar tidak ada lagi keraguan dari para pembayar royaltit, terkait apakah pembayaran mereka benar-benar sampai kepada pencipta lagu. “Jika sistem itu tidak juga tersedia, pencipta lagu pasti masih memiliki mosi tidak percaya pada hasil royalti yang diterima,” ungkap Anji.
Sebagai penutup, Anji menegaskan bahwa regulasi yang tepat dan jelas mengenai royalti adalah hal yang mendesak. Ini tidak hanya penting untuk perlindungan hak pencipta lagu, tetapi juga untuk memajukan industri musik Indonesia secara keseluruhan. Era digital dan perkembangan teknologi harus dimanfaatkan untuk menciptakan solusi yang lebih baik dalam pengelolaan royalti, sehingga semua pihak dapat merasakan manfaatnya secara adil.
