Merah Putih One For All: Netizen Pilih Versi AI Lebih Keren, Gagal Total?

Sebuah ironi melanda industri animasi Indonesia menjelang perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Film animasi “Merah Putih One For All,” yang direncanakan tayang serentak di bioskop mulai 14 Agustus 2025, telah menuai kritik tajam meski belum resmi dirilis. Kualitas animasi yang dinilai sangat mengecewakan membuat banyak penonton enggan menontonnya. Ironisnya, versi remake yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI) malah berhasil menarik perhatian dan mendapatkan banyak pujian.

Film yang diproduksi oleh Perfiki Kreasindo ini mengangkat tema kebangsaan dan persatuan. Cerita berfokus pada petualangan delapan anak dari berbagai suku dan budaya di Indonesia, termasuk Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa, Makassar, Manado, dan Tionghoa. Mereka tergabung dalam “Tim Merah Putih,” yang memiliki misi menjaga bendera pusaka yang hilang tiga hari menjelang upacara 17 Agustus. Sayangnya, meski premisnya menjanjikan semangat Bhinneka Tunggal Ika, eksekusi visualnya justru dikritik.

Trailer resmi yang dirilis ke publik menjadi bulan-bulanan netizen. Banyak yang mengeluhkan kualitas animasi yang kaku dan gerakan karakter yang tidak natural. Sebuah komentar di kolom YouTube mengungkapkan kekecewaan dengan menyatakan, “Film ini terasa seperti hasil tugas proyek PPKn anak SMA.” Bahkan, seorang netizen lainnya menyindir, “Menonton kursi bioskop kosong lebih menghibur daripada ini.”

Di tengah hujatan tersebut, muncul video perbandingan antara trailer asli dan versi remake oleh AI. Hasilnya jelas sangat kontras; versi AI menampilkan visual yang lebih halus dengan pencahayaan yang dramatis dan detail karakter yang hidup. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa karya yang dihasilkan AI bisa jauh melampaui kualitas film yang diproduksi secara profesional?

Kekecewaan publik semakin memuncak saat informasi mengenai anggaran produksi film ini terungkap. Film animasi ini menelan biaya hingga Rp6,7 miliar, angka yang jauh dari sepadan dengan kualitas yang ditampilkan. Publik pun mempertanyakan alokasi dana tersebut dan profesionalisme rumah produksi Perfiki Kreasindo. Selain itu, proses produksi film ini terungkap hanya memakan waktu sekitar satu bulan, dimulai sejak Juni 2025.

Beberapa pengamat, termasuk sutradara film “Jumbo,” Ryan Adriandhy, turut angkat bicara. Mereka membandingkan “Merah Putih One For All” dengan “Jumbo,” yang dianggap telah menetapkan standar baru untuk kualitas animasi Indonesia. Netizen pun mulai mempertanyakan apakah publik masih bisa menerima karya dengan label “karya anak bangsa” jika kualitasnya tidak memenuhi ekspektasi.

Menanggapi kritik yang deras mengalir, produser film, Toto Soegriwo, memberikan pernyataan yang dianggap kurang simpatik oleh beberapa netizen. Ia menyatakan, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain.” Pernyataan ini hanya memperburuk suasana di kalangan penonton yang merasa terabaikan.

Sikap publik terhadap film ini menjadi ambivalen. Awalnya, mereka bersemangat mendukung karya dalam negeri, namun kualitas yang ditawarkan membuat mereka berpikir dua kali. Fenomena viralnya remake AI menunjukkan bahwa penonton Indonesia semakin cerdas dan tidak bisa lagi dibujuk hanya dengan label “karya anak bangsa.” Penonton kini menuntut kualitas, dan jika karya orisinal gagal memenuhi harapan tersebut, mereka tidak akan ragu untuk berpaling ke alternatif yang lebih memuaskan, sekalipun itu hasil buatan AI.

Dalam masa di mana kualitas visual dan pengisahan cerita menjadi semakin penting, “Merah Putih One For All” menghadapi tantangan besar untuk merebut perhatian penonton. Publik tidak akan segan-segan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka dan beralih ke halaman yang lebih menarik, menuntut karya yang tidak hanya menyentuh aspek emosional, tetapi juga memenuhi standar kualitas yang layak.

Berita Terkait

Back to top button