Selebritas Nikita Mirzani baru-baru ini mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap salah satu bank swasta yang ia anggap telah melanggar privasinya. Dalam pernyataan yang disampaikan seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Mirzani mengklaim bahwa pihak bank telah memberikan akses kepada penyidik untuk melihat rekening korannya tanpa izin dirinya. Sebagai nasabah prioritas, ia merasa tindakan tersebut sangat tidak pantas dan melanggar hak-haknya.
Nikita menjelaskan bahwa seluruh transaksi dalam rekening tersebut berasal dari pekerjaannya yang sah, termasuk honornya dari film, endorsement, dan acara off-air. Ia menambahkan, “Saya sering unggah di media sosial. Cuma tampil 45 menit nyanyi, saya dibayar Rp 125 juta. Jadi, bukan cuma katanya pemerasan. Itu semua penghasilan saya sendiri.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Mirzani ingin meluruskan citra dirinya di mata publik, terutama dalam situasi yang dapat merugikan reputasinya.
Kecewa dengan tindakan pihak bank, Mirzani mengatakan, “Rekening koran saya diobrak-abrik tanpa persetujuan saya.” Ia meminta agar pihak bank bertanggung jawab atas tindakan tersebut dan mempertanyakan kelayakan akses yang diberikan tanpa izin. Kejadian ini menjadi perhatian publik mengingat statusnya sebagai selebritas dan nasabah prioritas.
Meskipun merasa haknya dilanggar, Mirzani memilih untuk tidak membawa kasus ini langsung ke jalur hukum. Ia menjelaskan bahwa saat ini, fokusnya adalah menyelesaikan proses persidangan terkait dugaan pemerasan yang tengah dijalaninya. “Urusan ini belakangan. Biar urusan (sidang) ini dahulu selesai. Kalau sudah selesai, saya akan somasi mereka,” ujarnya dengan tegas.
Kasus ini mengundang berbagai reaksi dari publik dan pengamat hukum, yang melihat bahwa tindakan tanpa izin sebagai pelanggaran privasi yang serius. Menurut pakar hukum, ini menunjukkan pentingnya regulasi yang lebih ketat terkait perlindungan data nasabah di institusi keuangan.
Sementara itu, tidak sedikit netizen yang memberikan dukungan kepada Mirzani melalui komentar di media sosial. Mereka menganggap tindakan pihak bank sangat tidak profesional dan berharap agar kejadian serupa tidak terjadi pada nasabah lain.
Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai praktik internal di bank-bank swasta dan bagaimana mereka menangani data nasabah. Banyak pihak menekankan perlunya transparansi dan kepatuhan pada standar privasi yang lebih tinggi.
Ketidakpuasan Mirzani terhadap layanan bank juga mencerminkan geliat kritik yang lebih luas terhadap industri keuangan, terutama dalam hal kepercayaan nasabah terhadap lembaga-lembaga tersebut. Di era di mana data pribadi menjadi salah satu aset terpenting, nasabah berhak atas perlindungan yang lebih baik.
Sekarang, perhatian terfokus pada langkah-langkah yang akan diambil oleh Mirzani setelah menyelesaikan persidangan yang sedang berlangsung. Apakah ia akan mengambil tindakan hukum? Ataukah ia akan mencari jalur penyelesaian lain? Semua mata tertuju padanya, dan ini bukan hanya tentang dia, tetapi juga tentang perlindungan hak privasi setiap nasabah di masa mendatang.
Situasi yang dihadapi oleh Nikita Mirzani menciptakan momentum bagi diskusi yang lebih besar tentang perlunya reformasi dalam pengelolaan data nasabah oleh institusi keuangan di Indonesia.
