Kontroversi Film Merah Putih One For All, Tayang di Bioskop Hari Ini

Film animasi “Merah Putih One For All” resmi tayang di bioskop hari ini, Kamis, 14 Agustus 2025. Meskipun begitu, film yang disutradarai oleh Endiarto dan Bintang ini menuai beragam kritik dan kontroversi yang memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Banyak pihak merasa bahwa hadirnya film ini terasa janggal dan tidak sesuai dengan harapan.

Di Jabodetabek, film ini dapat disaksikan di beberapa bioskop terpilih, seperti di Kelapa Gading dan Kemang Village, sementara di kota lain seperti Bandung dan Semarang juga turut menyiarkannya. Meskipun ditargetkan untuk merayakan semangat Kemerdekaan Indonesia, tujuan pembuatan film ini justru menjadi sorotan tajam. Produser film, Toto Soegriwo, menyatakan bahwa film ini diciptakan sebagai upaya untuk menggugah jiwa nasionalisme generasi muda. “Kami berharap film ini dapat menjadi wadah untuk menunjukkan persatuan dan cinta Tanah Air,” jelasnya.

Namun, anggaran produksi yang mencapai Rp6,7 miliar menimbulkan reaksi keras dari netizen dan pengamat. Mereka mengklaim bahwa biaya tersebut seakan-akan terbuang sia-sia, terutama terkait kualitas animasi yang dinilai buruk. Banyak netizen berpendapat bahwa film ini adalah contoh pemborosan. Kritikan yang datang tidak hanya dari penonton biasa, tetapi juga dari kalangan anggota DPR, seperti Lalu Hadrian Irfani, yang meragukan kualitas visual dan urgensi penayangannya.

Salah satu kontroversi mencolok adalah terkait aset yang digunakan dalam film. Beberapa netizen mencurigai bahwa karakter dalam film ini bukanlah hasil kreasi asli, melainkan karakter yang diambil dari toko aset digital Daz3D. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa animasi film “Merah Putih One For All” tidak memiliki orisinalitas yang cukup. Bahkan, seorang animator mengungkapkan dalam komentar di platform Youtube bahwa ia adalah pembuat karakter yang digunakan dan mempertanyakan tentang hak pembayarannya. “Saya adalah seniman yang membuat semua karakter ini. Jadi, apakah saya mendapat bayaran dan kredit atau tidak?” tulisnya di kolom komentar.

Tidak hanya itu, terdapat juga perdebatan mengenai beberapa adegan yang dinilai kurang pantas, seperti pemunculan gudang senjata yang menjadi sorotan. Kecemasan ini muncul karena dianggap tidak sejalan dengan konsep nasionalisme yang ingin disampaikan oleh film tersebut. Banyak orang menilai penggarapan film ini tergesa-gesa dan tampaknya tidak siap untuk ditayangkan.

Sebagai tambahan, film ini memiliki durasi 70 menit, dan dari sisi cerita, diakuinya bahwa nilai-nilai persatuan dan cinta tanah air menjadi fokus utama. Namun, kehadiran elemen-elemen yang dipertanyakan justru membentuk persepsi berbeda di kalangan penonton. Sementara beberapa penonton memberikan dukungan, banyak yang merasa anggaran besar yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang ditampilkan di layar lebar.

Di tengah banyaknya kritik yang berdatangan, para produser film tampaknya masih optimis terhadap pesan yang hendak disampaikan. Meskipun tayang terbatas dan mendapatkan reaksi negatif, mereka berharap bahwa penonton akan bisa mencerna makna yang ada dan menemukan kebaikan dalam cerita yang diusung.

Merah Putih One For All tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga pemicu diskusi yang hangat di masyarakat. Dalam konteks ini, film ini menjadi bagian dari dinamika kebudayaan dan seni di Indonesia, di mana harapan dan kritik seringkali berjalan berimbang. Apakah film ini bisa membawa dampak positif seperti yang diharapkan, atau justru menjadi pelajaran berharga bagi industri film di Tanah Air? Hasil penayangan dan penerimaan masyarakat tentu akan menjadi bukti konkret dari perjalanan film ini ke depan.

Berita Terkait

Back to top button